Pengaruh THHK berangsur berkurang pada tahun 1930-an, karena program pendidikannya dianggap kurang sesuai dengan kebutuhan komunitas Tionghoa di zaman penjajahan. Â Perannya bisa dikatakan hilang setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945.Â
Walaupun demikian, ia telah meninggalkan sebuah warisan sejarah, yaitu identitas ke-Tionghoaan Indonesia, yang oleh sebuah organisasi massa  di zaman yang berbeda, dianggap sebagai bagian penting dari nasion Indonesia.  Organisasi massa yang dimaksud adalah Baperki dan tidak bisa disangkal bahwa "akarnya" adalah THHK.Â
Secara simbolik, hubungan THHK dan Baperki tercatat dalam sejarah. Â Sekolah pertama THHK yang didirikan pada 1901 di Batavia, merupakan salah satu sekolah Baperki terbesar di Jakarta, hingga ia dijadikan sekolah Negeri pada 1966.
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki)
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) didirikan oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa pada 13 Maret 1954.  Masalah yang dihadapi para tokoh Baperki bukan lagi identitas ke-Tionghoaan.  Yang mereka hadapi adalah rasisme di berbagai bidang .  Ini lalu membangkitkan perjuangan mempercepat Nation-Building dan  menentang rasisme.
Perbedaan fundamental antara Baperki dan THHK terletak pada program kerjanya. Â THHK, seperti banyak organisasi Tionghoa lainnya, menitikberatkan program pendidikan dan sosial. Sedangkan Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik dalam mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan.
Baperki menekankan bahwa dengan terbentuknya NKRI, terwujud pula bangsa atau nasion Indonesia.  Baperki mempertegas bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang beraneka ragam kebudayaan serta adat istiadat-nya.  Bersandar atas Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi satu), Baperki mendorong diterimanya komunitas  yang ke-Tionghoaannya terwujud dan berkembang di Indonesia  sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nasion Indonesia.
Baperki mengembangkan prinsip ini dengan paham integrasi. Mereka menganjurkan Tionghoa untuk mengintegrasikan dirinya dalam semua tingkat kegiatan Indonesia, sehingga aspirasi rakyat Indonesia menjadi aspirasi  Tionghoa.  Mereka mempertegas bahwa untuk ini, suku Tionghoa, sama halnya dengan para suku lainnya, tidak perlu menanggalkan ke-Tionghoaannya, secara  biologis maupun kebudayaan.  Persatuan tidak berarti semua golongan yang ada dipaksa untuk meleburkan dirinya ke dalam tubuh pihak mayoritas.Â
Baperki menentang paham assimilasi yang berkembang pada awal tahun 1960-an.  Pihak yang melahirkan konsep assimilasi menghendaki komunitas Tionghoa menanggalkan atau mencampakkan ciri-ciri ke-Tionghoaan sehingga di suatu saat, mereka berargumentasi, komunitas  Tionghoa "lenyap" dari permukaan bumi Indonesia.
Proses membangun bangsa -- Nation Building, menurut Baperki, harus dikaitkan dengan kewarganegaraan Indonesia. Kewarganegaraan Indonesia-lah yang memberi makna hukum keberadaan nasion Indonesia. Â Baperki berargumentasi, rasisme terhadap Tionghoa tidak bisa dilegitimasikan karena Kewarganegaraan Indonesia tidak mengenal asal usul keturunan, agama dan status sosial-nya.
Baperki juga berpendapat bahwa nasion Indonesia hanya bisa dikonsolidasi perwujudannya bilamana ia berkembang sebagai nasion yang makmur.  Baperki mendesak pemerintah untuk mendukung perdagangan dan produksi domestik, tanpa mendiskriminasikan siapa pemilik modal domestik.  Baperki menentang kebijakan pemerintah yang menindas atau membatasi  pengembangan modal milik pedagang-pedagang Tionghoa.