Mohon tunggu...
Siauw Tiong Djin
Siauw Tiong Djin Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pemerhati Politik Indonesia

Siauw Tiong Djin adalah pemerhati politik Indonesia. Ia bermukim di Melbourne, Australia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Phoa Thoan Hian (1927-1995) - Tokoh Sin Ming Hui, Baperki, dan Partindo

12 Oktober 2021   10:44 Diperbarui: 14 Oktober 2021   12:31 2780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi pribadi

Baru-baru ini saya banyak berbincang dengan Prof. Peter Carey, sejarawan ternama yang kini bermukim di Jakarta. Peter sedang merampungkan biografi Betsy Phoa, isteri Phoa Thoan Hian. Biografi yang bersifat terbatas -- hanya dibagikan ke keluarga dan kerabat dekat Betsy Phoa ini -- tentu banyak menyinggung latar belakang dan sepak terjang Phoa Thoan Hian.

Nama Phoa Thoan Hian disinggung oleh beberapa peneliti sejarah Tionghoa Indonesia, seperti Charles Coppel dan Leo Suryadinata. Foto Phoa Thoan Hian masuk pula dalam deretan foto tokoh-tokoh Tionghoa yang berjasa untuk Indonesia di Museum Hakka Indonesia di Taman Mini Indonesia. 

Akan tetapi, sepak terjangnya dan peran yang dimainkan Phoa dalam kancah sosial dan politik Indonesia, yang menurut saya penting untuk diketahui oleh generasi muda, tidak banyak diuraikan.  

Kedua hal tersebut inilah yang mendorong saya untuk menulis sesuatu tentang Phoa. Diharap di kemudian hari ada yang melakukan penelitian lebih lanjut mengenai tokoh yang telah banyak berperan dalam sejarah Indonesia ini. 

Phoa, lahir di Cilacap pada 1927, berasal dari komunitas Peranakan Tionghoa. Awal pendidikannya Ia peroleh dalam sekolah Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), yang menutup semua sekolah Belanda, ia sempat melalui  pendidikan bahasa Tionghoa. Inilah yang menyebabkan ia cukup mahir berkomunikasi dalam bahasa Mandarin -- sebuah kemampuan yang banyak menolong karier-nya di kemudian hari sebagai pengacara dan politikus.

Phoa bukan berasal dari keluarga mampu. Sejak masa muda ia harus membantu orang tuanya menutupi ongkos hidup. Ketika ia masuk Universitas Indonesia pada 1952, ia harus mengongkosi ongkos hidup dan kuliah di Jakarta. 

Ini mendorongnya untuk terjun dalam berbagai kegiatan sosial dan politik. Walaupun ini berakibat ia terlambat dalam menyelesaikan kuliahnya sebagai sarjana hukum (ia baru selesai pada April 1958), keterlibatan Phoa dalam kegiatan sosial politiknya membawanya ke kancah politik nasional.

Phoa, relatif berusia muda sebelum Oktober 1965. Tetapi ia merupakan tokoh senior dalam Sin Ming Hui, Baperki dan Partindo. Tulisan pendek ini menggambarkan sepak terjangnya di dalam ketiga organisasi tersebut.

Sin Ming Hui (Perhimpunan Sosial Candra Naya)

Tidak lama setelah Phoa berada di Jakarta untuk kuliah di Universitas Indonesia, ia bergabung dalam organisasi sosial yang bernama Sin Ming Hui (Perkumpulan Sinar Baru) yang didirikan di Jakarta pada 1946.

Organisasi ini berkecimpung dalam kegiatan sosial dan pendidikan, menolong orang-orang miskin; membantu para yatim piatu; memberi bantuan kesehatan kepada mereka yang tidak mampu; memberi perlayanan sosial dan hukum ke masyarakat Tionghoa; mendirikan sekolah dari tingkat SD hingga SMA. Akan tetapi yang berhasil dan berkembang pesat pada tahun 50-and dan 60-an adalah Sekolah Asisten Apoteker (SAA Sin Ming Hui).

Pimpinan Sin Ming Hui merupakan tokoh-tokoh Tionghoa yang ternama dan berpengaruh dalam komunitas Tionghoa. Mereka berasal dari surat kabar Sin Po dan Keng Po, pimpinan masyarakat Tionghoa dan para pengacara Tionghoa. Khoe Woen Sioe dari Keng Po, Ang Jan Goan dari Sin Po; Mr Liem Tjing Hien, Mr Oei Tjoe Tat, Mr Auwjong Peng Koen, Mr Liem Koen Seng dan Mr Yap Thiam Hien. Gelar sarjana hukum pada zaman itu adalah Meester in de Rechten, setara dengan S2 -- disingkat Mr.

Walaupun masih muda, Phoa terlibat dalam berbagai kegiatan penting di Sin Ming Hui. Pada 1956, Phoa turut berperan dalam pendirian dan pengembangan rumah sakit Sin Ming Hui, yang sejak tahun 1961 dinamakan Rumah Sakit Sumber Waras. 

Rumah Sakit ini terletak di sebelah kampus Universitas Respublica (Ureca) yang dikelola oleh Baperki. Phoa, yang sejak 1954 memiliki posisi senior di Baperki berperan dalam menjadikan RS Sumber Waras sebagai tempat praktikum fakultas kedokteran Ureca.

Beberapa tokoh Sin Ming Hui bernaung dalam PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang memiliki garis politik berbeda dengan Baperki.

Menjelang Pemilu 1955, banyak tokoh Sin Ming Hui yang berkiblat ke PSI dan Partai Katolik seperti Khoe Woen Sioe, Injo Bengoat, Kwee Hwat Djien, Auwjong Peng Koen meninggalkan barisan Baperki yang turut mereka dirikan pada 1954. 

Mereka menganggap Baperki menempuh jalur politik kiri. Akan tetapi banyak orang yang berpendapat bahwa keluarnya mereka dari Baperki lebih terdorong atas persaingan dalam memperoleh dukungan komunitas Tionghoa.

Tidak lama setelah Baperki mendirikan Universitas Baperki pada 1958, Kwee Hwat Djien menggagas pendirian universitas Sin Ming Hui yang kemudian dinamakan Universitas Taruma Negara.

Phoa yang aktif pula di Baperki tidak banyak terlibat dalam pengelolaan universitas ini. Ia memilih untuk banyak terlibat dalam Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, yang sejak 1958 di samping memiliki ratusan sekolah di berbagai kota besar, mulai mengelola universitas Baperki yang pada 1961 diubah namanya menjadi Universitas Respublica. 

Pada 1962 Sin Ming Hui diubah namanya menjadi Perhimpunan Sosial Candra Naya. Kantor pusatnya tetap terletak di bangunan bersejarah dan unik yang dimiliki oleh seorang Majoor de Chineezen, Khouw Kim An, di jalan Gajah Mada 188, Jakarta, dekat daerah yang dinamakan Kota. 

Kemampuan Phoa berorganisasi dihargai banyak tokoh. Sejak ia bergabung dalam Sin Ming Hui, ia memegang berbagai posisi penting dan masuk dalam kelompok eksekutif yang memutuskan berbagai kebijakan dan kegiatan penting Sin Ming Hui.

Adanya perbedaan garis politik yang digambarkan di atas tidak menghalangi Phoa dan beberapa tokoh dari Baperki seperti Oei Tjoe Tat dan Liem Koen Seng untuk tetap berperan dalam Sin Ming Hui.   

Akan tetapi pada tahun 60-an berkembanglah dua kubu di dalam tubuh Sin Ming Hui. Kubu Khoe Woen Sioe dan kubu Phoa Thoan Hian. Hingga 1963, posisi ketua dipegang oleh kubu Khoe.

Keadaan ini kemudian berubah. Kelompok Baperki dalam Sin Ming Hui menjadi lebih dominan pada 1963.  Ini menyebabkan Phoa Thoan Hian, pada usia 36, terpilih sebagai ketua, mengalahkan Padmosumasto yang didukung oleh Khoe Woen Sioe.

Phoa menjadi ketua Sin Ming Hui hingga perubahan cuaca politik yang drastik pasca G30S 1965. Padmosumasto menggantikan Phoa setelah Phoa masuk dalam penjara sebagai tahanan politik pada 1966.

Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) 

Baperki didirikan pada 13 Maret 1954 di gedung Sin Ming Hui, untuk melawan arus politik yang ingin meng-asingkan sebanyak mungkin Tionghoa yang sudah menjadi WNI dan melawan diskriminasi rasial.

Ada 44 orang yang hadir dalam acara pembentukan ini. Banyak tokoh Sin Ming Hui hadir, termasuk Phoa.  Yang terpilih sebagai ketua umum, sebagai calon tunggal, adalah Siauw Giok Tjhan. Oei Tjoe Tat, yang pada waktu itu menjadi ketua Sin Ming Hui, dan Yap Thiam Hien, seorang pengurus Sin Ming Hui, terpilih sebagai dua wakil Ketua.

Walaupun Phoa baru berusia 27 tahun, dan termuda dalam acara pembentukan tersebut, ia diangkat sebagai salah satu anggota Dewan Harian Pengurus Baperki.

Ada tiga hal utama yang harus dihadapi oleh Baperki sejak ia didirikan pada 1954.

Hal pertama berkaitan dengan Kewarganegaraan Indonesia. Pada 1953 dan 1954, beberapa tokoh pemerintah dipimpin oleh menteri luar negeri Sunario mengeluarkan RUU (Rancangan Undang-Undang) kewarganegaraan baru yang ingin membatalkan UU Kewarganegaraan 1946. Bilamana RUU ini berhasil dijadikan UU, semua WNI Tionghoa kehilangan kewargangeraannya. RUU Ini berhasil digagalkan oleh Baperki.

Hal yang kedua berkaitan dengan Pemilihan Umum 1955. Baperki memutuskan untuk ikut pemilu, menjamin perwakilan komunitas Tionghoa diisi oleh para tokoh yang memiliki komitmen untuk memperbaiki status hukum dan ekonomi Tionghoa. Baperki berpendapat wakil-wakil Tionghoa dari partai-partai politik akan dipaksa untuk memprioritaskan agenda politik partai-partai tersebut.  Ini, menurut Baperki, merugikan komunitas Tionghoa.

Phoa masuk dalam tim eksekutif Baperki. Salah satu tugas utamanya adalah menggalang dukungan luas untuk memenangkan Baperki dalam pemilihan umum pertama pada 1955. 

Baperki berhasil memperoleh 70% suara komunitas Tionghoa dalam pemilu tersebut. Ini yang menyebabkan Baperki memperoleh satu kursi di DPR dan tiga kursi di Konstituante.  Dalam negosiasi pengisian anggota DPR dan Konstituante selanjutnya, Baperki memperoleh dua kursi di DPR dan 9 kursi di Konstituante, termasuk 2 perwakilan peranakan Eropa.

Hal yang ketiga berkaitan dengan tindakan rasis dalam dunia pendidikan. Pada 1958, penguasa militer yang berkuasa di kota-kota besar memaksa semua siswa Tionghoa WNI keluar dari sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa. Ini merupakan masalah besar. 

Ada ratusan ribu siswa Tionghoa WNI yang masuk di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa. Mereka belajar di sekolah-sekolah Tionghoa karena tidak ada penampungan di sekolah-sekolah negeri. Sekolah-sekolah swasta Kristen dan Katolik-pun terbatas dan uang sekolahnya tidak terjangkau oleh banyak Tionghoa.

Baperki bertindak cepat. Pimpinan Baperki menghubungi berbagai organisasi Tionghoa totok yang mengelola sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa. Dicapailah persetujuan yang menguntungkan ratusan ribu siswa Tionghoa tersebut. Lahan sekolah-sekolah Tionghoa dibagi dua. Sebagian disediakan untuk siswa Tionghoa WNI. 

Pembagian lahan berdasarkan jumlah siswa Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-sekolah tersebut. Ada yang hanya sepertiga. Ada yang seperempat. Dalam waktu beberapa bulan, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, berkat persetujuan di atas, memiliki ratusan sekolah dari SD hingga SMA di kota-kota besar.

Pada tahun yang sama, Baperki mendirikan universitas swasta pertama di Jakarta. Awalnya dengan nama Universitas Baperki, kemudian diubah menjadi Universitas Respublica (Ureca).

Program pendidikan memerlukan dana besar. Untuk dana tersebut, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa, yang mayoritas totok. Di Sini, Phoa, yang cukup fasih berbahasa Mandarin berperan besar. Ia terlibat dalam upaya penggalangan dana dari dunia pedagang Tionghoa totok. Pada akhir 50an dan awal 60-an, Phoa sudah terkenal di kalangan pedagang Tionghoa totok sebagai seorang pengacara yang trampil. 

Dalam waktu singkat, dana terkumpul dan Ureca berkembang pesat menjadi universitas swasta yang terbesar dengan kualitas pendidikan tinggi. Pada 1965, Ureca memiliki cabang di berbagai kota besar dan jumlah siswa melebihi 10 ribu orang.

Baperki memiliki banyak cabang hampir di seluruh Nusantara. Berbeda dengan Sin Ming Hui yang tidak melibatkan dirinya dalam kegiatan politik, Baperki merupakan organisasi massa yang bernuansa politik. Ia mencanangkan pengertian bahwa masalah Tionghoa merupakan bagian dari nation building dan upaya menuju Indonesia yang adil dan makmur.

Baperki menegaskan bahwa komunitas Tionghoa yang sudah ber-generasi hidup di Indonesia merupakan salah satu suku yang tidak terpisahkan dan Nasion Indonesia. Untuk menjamin keharmonisan dan mendorong kesetiaan terhadap Indonesia, Baperki memformulasikan paham integrasi wajar, yang kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme. 

Paham ini mendorong Tionghoa untuk menjadikan aspirasi rakyat Indonesia sebagai aspirasinya dan terjun dalam semua kegiatan membangun Indonesia tanpa menanggalkan latar belakang ke-Tionghoa-an.

Pada tahun 60-an, paham ini ditentang oleh sebuah kelompok Tionghoa yang dinamakan LPKB -- Lembaga Pengkajian Kesatuan Bangsa. Mereka mencanangkan paham asimilasi, yaitu Tionghoa menghilangkan ciri-ciri ke Tionghoaan. 

Dimulai dengan mengganti nama dan menghentikan hubungan dengan kebudayaan Tionghoa. Ada Anjuran untuk mempercepat proses kawin campuran sehingga hilanglah ciri-ciri biologis Tionghoa. Ada pula ajakan masuknya Tionghoa ke agama penduduk mayoritas, Islam.

Polemik yang sebenarnya bisa berkembang dengan akal sehat ini, kemudian menjurus ke pertentangan politik. Integrasi yang diusung Baperki yang berada dalam kubu kiri dinyatakan sebagai "jalan keluar kiri" sedangkan, asimilasi yang dicanangkan oleh LPKB, yang didukung oleh Angkatan Darat, dinyatakan sebagai "jalan keluar kanan".

Pada zaman demokrasi terpimpin (1959-1965), posisi Baperki berada di atas angin. Soekarno mendukung berbagai kebijakan Baperki. Pada 1963, Soekarno resmi menyatakan bahwa Tionghoa adalah salah satu suku Indonesia.  

Baperki tercatat dalam sejarah sebagai organisasi massa Tionghoa yang paling berhasil dalam menggalang dukungan komunitas Tionghoa dan dalam mengajak komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Phoa Thoan Hian berada dalam barisan ini dan banyak berjasa di dalam perkembangannya.

Partindo (Partai Indonesia)

Beberapa tokoh PNI yang tidak puas dengan kebijakan pimpinannya menjelang akhir 1950-an memutuskan untuk menghidupkan kembali Partai Indonesia -- Partindo pada Agustus 1958. Partindo yang lama didirikan oleh Sartono pada 1931 dan bertahan hingga 1936, ketika Soekarno diasingkan Belanda.

Partindo yang bersandar atas Marhaenisme dan didukung oleh Soekarno berkembang pesat. Para tokoh Partindo cenderung bersikap kiri, sehingga pada tahun 60-an, seperti Baperki, ia berada dalam kubu kiri.

Pada 1960 Indonesia masih berada dalam status Martial Law di mana Angkatan Darat memiliki kekuasaan mutlak di berbagai bidang. Ia memiliki kekuasaan untuk menutup sekolah, menghentikan publikasi dan membredel surat kabar.

Salah satu surat kabar yang ditutup militer adalah Harian Republik, terompet Baperki. Kejadian ini mendorong Siauw Giok Tjhan untuk mengubah kebijakan dalam penyebar- luasan program politik Baperki. Ia mendorong para kader Baperki dari berbagai lapisan, baik di pusat maupun daerah, untuk aktif berpartisipasi dalam organisasi-organisasi nasional.

Tan Hwie Kiat dan Go Beng Koan masuk sebagai pimpinan surat kabar yang paling berpengaruh pada waktu itu, Warta Bhakti (nama baru dari Sin Po).

Di tingkat atas partai-partai politik, ada pula tokoh Baperki yang menjadi pimpinan PKI, seperti Liem Koen Seng dan Njoo King Ming.

Soekarno mencanangkan dasar persatuan politik dengan konsepsi Nasakom -- nasionalis, Agama dan Komunis. Semua partai politik dan ormas dimandatkan oleh Soekarno untuk me-Nasakom-kan jajaran pimpinannya, Baperki memilih Partindo sebagai komponen Nasionalis.

Hubungan Siauw dengan para tokoh Partindo dekat. Beberapa tokoh Partindo seperti Werdojo dan Soenito masuk dalam jajaran pimpinan Baperki. Sebaliknya Siauw mendorong dua tokoh Baperki untuk aktif di Partindo bahkan menjadi wakil-wakil ketua di dalamnya, yaitu Oei Tjoe Tat dan Phoa Thoan Hian.

Oei dan Phoa dipercaya Siauw untuk bisa membawa aspirasi Baperki di dalam Partindo, "anak emas" Soekarno, yang pengaruhnya semakin kuat dalam percaturan politik. Pada zaman Demokrasi Terpimpin, Partindo merupakan satu di antara 9 partai yang resmi berdiri.  Beberapa tokoh Partindo diangkat menjadi menteri-menteri di kabinet Soekarno, Armunanto, Astrawinata, Sutomo dan Oei Tjoe Tat.

Pada tingkat organisasi pemuda dan pelajar, banyak siswa Baperki masuk pula dalam organisasi-organisasi nasional. Ada yang menjadi pimpinan pusat. Njoo Tik Tjiong menjadi sek-jen Perhimi (Perhimpunan mahasiswa Indonesia) dan pada waktu bersamaan juga menjadi sek-jen PPMI (Persatuan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia); Phang Tjiang Hien menjadi sek-jen IPPI (Ikatan Pemuda pelajar Indonesia);  Lay Oen Kui, menjadi salah satu tokoh Dewan Nasional Pemuda Rakyat; Tjia Sin Tjoei, menjadi salah satu wakil ketua pusat CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia).

Siauw berharap partisipasi dan peran penting para kader Baperki di berbagai organisasi nasional bisa mempercepat diterimanya konsepsi integrasi wajar sehingga rasisme terkikis habis dari kancah politik nasional.

Pasca Gerakan 30 September - 1965

Perkembangan yang digambarkan di atas secara drastik terhenti ketika peta politik Indonesia berubah, akibat G30S pada 1 Oktober 1965.

Dalam sekejap mata, kekuatan politik beralih ke tangan rezim militer yang dipimpin oleh Soeharto. Kekuasaan Soekarno dan kelompok kiri dihancurkan dalam waktu beberapa bulan saja. 

Sejak Maret 1966, Jendral Soeharto didukung oleh kekuatan militer dan blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, berkuasa mutlak di Indonesia. Di bawah pimpinannya, ratusan ribu hingga 1 juta orang yang tidak bersalah dibunuh; ratusan ribu orang yang tidak bersalah dijadikan tahanan politik; dan jutaan orang yang tidak bersalah dipersekusi.  Pelanggaran HAM dilaksanakan secara sistematik oleh negara.

Ribuan pimpinan Baperki, termasuk Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Lie Tjwan Sien, Go Tjoe Nio dan Phoa Thoan Hian meringkuk dalam tahanan hingga 1978. Dari mereka yang ditahan, hanya Oei Tjoe Tat yang diadili. Banyak pula yang menjadi korban pembunuhan massal dan pembuangan di Pulau Buru.

Sikap Phoa dalam tahanan terpuji. Walaupun ia mengalami banyak siksaan kejam dalam berbagai sesi interogasi, ia tidak pernah menyusahkan para kawannya. Atribut ini berbeda dengan sikap beberapa tokoh PKI dan ormas kiri lainnya yang tidak tahan dengan siksaan, sehingga versi militer yang bertentangan dengan fakta dijadikan dasar penangkapan massal. Walaupun Phoa tergolong tokoh politik senior, di dalam tahanan ia merakyat. Ia bersolidaritas dengan para tahanan muda di dalam penjara. Kiriman makanan isteri setianya, Betsy Phoa, selalu dibagikan ke sesama tapol.

Setelah Phoa resmi "dikembalikan ke dalam Masyarakat" pada Agustus 1978, ia mulai merintis kembali biro konsultasi hukum. Berkat para pedagang Tionghoa totok yang menghargai kualitas jasa yang ia berikan, sejak awal 1980, biro konsultasi hukum Phoa berkembang pesat. 

Keberhasilan Phoa sebagai pengacara dengan predikat eks Tapol mungkin merupakan pengecualian. Akan tetapi keberhasilan ini tidak dinikmati sendiri. Ia banyak membantu para eks tapol baik dalam membantu mereka melalui hidup susah dan dalam memperoleh pekerjaan.

Phoa, yang meninggal pada Januari 1995,  dikenal pula sebagai seorang yang pragmatik. Yang diutamakan olehnya adalah bertahan hidup dan berupaya mencapai tujuan hidupnya sebagai seorang socialist. Ia mendorong para temannya untuk tidak memasalahkan berbagai hal yang bisa merugikan tujuan ini.

Sikap pragmatik yang didukung oleh kebijaksanaan, kematangan berorganisasi dan ketrampilan dalam bidang hukum dan politik, menyebabkan Phoa patut masuk dalam daftar tokoh Tionghoa yang berjasa untuk Indonesia...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun