Baperki berhasil memperoleh 70% suara komunitas Tionghoa dalam pemilu tersebut. Ini yang menyebabkan Baperki memperoleh satu kursi di DPR dan tiga kursi di Konstituante. Â Dalam negosiasi pengisian anggota DPR dan Konstituante selanjutnya, Baperki memperoleh dua kursi di DPR dan 9 kursi di Konstituante, termasuk 2 perwakilan peranakan Eropa.
Hal yang ketiga berkaitan dengan tindakan rasis dalam dunia pendidikan. Pada 1958, penguasa militer yang berkuasa di kota-kota besar memaksa semua siswa Tionghoa WNI keluar dari sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa. Ini merupakan masalah besar.Â
Ada ratusan ribu siswa Tionghoa WNI yang masuk di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa. Mereka belajar di sekolah-sekolah Tionghoa karena tidak ada penampungan di sekolah-sekolah negeri. Sekolah-sekolah swasta Kristen dan Katolik-pun terbatas dan uang sekolahnya tidak terjangkau oleh banyak Tionghoa.
Baperki bertindak cepat. Pimpinan Baperki menghubungi berbagai organisasi Tionghoa totok yang mengelola sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa. Dicapailah persetujuan yang menguntungkan ratusan ribu siswa Tionghoa tersebut. Lahan sekolah-sekolah Tionghoa dibagi dua. Sebagian disediakan untuk siswa Tionghoa WNI.Â
Pembagian lahan berdasarkan jumlah siswa Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-sekolah tersebut. Ada yang hanya sepertiga. Ada yang seperempat. Dalam waktu beberapa bulan, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, berkat persetujuan di atas, memiliki ratusan sekolah dari SD hingga SMA di kota-kota besar.
Pada tahun yang sama, Baperki mendirikan universitas swasta pertama di Jakarta. Awalnya dengan nama Universitas Baperki, kemudian diubah menjadi Universitas Respublica (Ureca).
Program pendidikan memerlukan dana besar. Untuk dana tersebut, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa, yang mayoritas totok. Di Sini, Phoa, yang cukup fasih berbahasa Mandarin berperan besar. Ia terlibat dalam upaya penggalangan dana dari dunia pedagang Tionghoa totok. Pada akhir 50an dan awal 60-an, Phoa sudah terkenal di kalangan pedagang Tionghoa totok sebagai seorang pengacara yang trampil.Â
Dalam waktu singkat, dana terkumpul dan Ureca berkembang pesat menjadi universitas swasta yang terbesar dengan kualitas pendidikan tinggi. Pada 1965, Ureca memiliki cabang di berbagai kota besar dan jumlah siswa melebihi 10 ribu orang.
Baperki memiliki banyak cabang hampir di seluruh Nusantara. Berbeda dengan Sin Ming Hui yang tidak melibatkan dirinya dalam kegiatan politik, Baperki merupakan organisasi massa yang bernuansa politik. Ia mencanangkan pengertian bahwa masalah Tionghoa merupakan bagian dari nation building dan upaya menuju Indonesia yang adil dan makmur.
Baperki menegaskan bahwa komunitas Tionghoa yang sudah ber-generasi hidup di Indonesia merupakan salah satu suku yang tidak terpisahkan dan Nasion Indonesia. Untuk menjamin keharmonisan dan mendorong kesetiaan terhadap Indonesia, Baperki memformulasikan paham integrasi wajar, yang kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme.Â
Paham ini mendorong Tionghoa untuk menjadikan aspirasi rakyat Indonesia sebagai aspirasinya dan terjun dalam semua kegiatan membangun Indonesia tanpa menanggalkan latar belakang ke-Tionghoa-an.