Adanya benih-benih rasisme yang masih berada dalam tubuh bangsa Indonesia, sebagai warisan zaman penjajahan Belanda dan kurangnya komitmen pemerintah untuk mengenyahkannya dari bumi Indonesia. Ini berfungsi sebagai percikan api kecil yang tidak pernah padam di sebuah ladang.
Adanya rekayasa politik dari tokoh pemerintah yang menginginkan komunitas Tionghoa sebagai kambing hitam kemiskinan atau penderitaan rakyat. Ini berfungsi sebagai bensin yang siap dilempar ke percikan api kecil tersebut di atas.
Lemparan bensin ke percikan api ini akan menimbulkan bush fire yang dahsyat.
Bilamana ketiga kondisi di atas berada pada waktu yang bersamaan, akan terjadilah ledakan rasisme berskala kerusuhan Mei 98.
Kerusuhan Mei 98 terjadi karena ketiga kondisi di atas hadir di Indonesia pada waktu bersamaan.
Pertanyaannya adalah apakah ketiga kondisi ini berada di ambang pintu?
Kesenjangan ekonomi belum terlihat. Akan tetapi jatuhnya rupiah yang tidak terkendalikan bisa mendorong Indonesia menuju ke resesi ekonomi, yang mengakibatkan penderitaan rakyat.
Pilkada Jakarta pada 2017 menunjukkan bahwa sentimen anti Tionghoa ternyata berperan dalam kekalahan Ahok.
Yang berbeda dengan pra Mei 98, pemerintah di bawah pimpinan Jokowi cukup teguh menjunjung tinggi pluralisme dengan penekanan komunitas Tionghoa merupakan saudara se-tanah air. Akan tetapi sejarah-pun menunjukkan bahwa di kalangan pemerintah dan pimpinan partai-partai politik, bisa berkembang sikap lip service. Pada waktu tertentu, sikap dan keinginan untuk menjadikan komunitas Tionghoa sasaran empuk politik bisa bangkit dan menjadi program politik sementara pemimpin.
Untuk mengurangi dampak rekayasa politik di atas, komunitas Tionghoa harus berpihak dengan rakyat jelata, menjadikan aspirasi rakyat aspirasinya sendiri sehingga timbullah rasa segolongan dengan rakyat.
Dengan demikian rakyat tidak mudah dikerahkan oleh tokoh pemerintah ataupun militer untuk menghantam golongannya sendiri.