Mohon tunggu...
Siauw Tiong Djin
Siauw Tiong Djin Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pemerhati Politik Indonesia

Siauw Tiong Djin adalah pemerhati politik Indonesia. Ia bermukim di Melbourne, Australia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peringatan Ke-20 Kerusuhan Mei 98

2 Juni 2018   19:48 Diperbarui: 3 Juni 2018   10:31 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam memperingati Mei 98, saya ingin membahas tiga hal:

Kejahatan dan Teror Negara

Bulan Mei 2018 dipenuhi dengan berita tentang terorisme. Dimulai dengan kejadian di Mako Brimob -- Depok di mana lima petugas penjara dibunuh dengan kejam. Di Surabaya terjadi ledakan bom bunuh diri di tiga gereja oleh sebuah keluarga. kemudian terjadi pula ledakan-ledakan bom di Sidoarjo dan bom bunuh diri di Poltabes Surabaya.

Yang telah meninggal akibat ledakan-ledakan di Jawa Timur ini sebanyak 28 orang (termasuk para teroris) dan 57 orang yang luka.

Di berbagai lokasi lain terdapat laporan tentang penangkapan orang-orang yang dituduh merupakan teroris.

Pada waktu yang bersamaan, kita memperingati kerusuhan Mei 98 yang ke 20. Sebuah kerusuhan yang menelan banyak jiwa yang tidak bersalah, sebagian besar di Jakarta, tetapi juga sekaligus melahirkan era baru di Indonesia -- Era Reformasi. Pada 21 Mei 1998, Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun, secara resmi mengundurkan diri.

Kerusuhan Mei 98 menurut laporan lapangan telah menyebabkan ribuan orang meninggal, sekitar 200 perempuan Tionghoa diperkosa secara massal dan ratusan toko dan rumah milik Tionghoa dijarah dan dirusak. Teror militer menyebabkan hasil penyelidikan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) tidak bisa memastikan jumlah perempuan yang diperkosa.

Ada perbedaan yang mencolok antara kerusuhan Mei 98 dengan berbagai peristiwa akibat terorisme pada Mei 2018.

Kekacauan akibat terorisme pada Mei 2018 segera ditindak dengan cepat dan tegas oleh pemerintah dan aparat negara, Kepolisian yang dibantu oleh TNI.

Para tokoh pemerintah dan kepolisian serentak datang ke lokasi menunjukkan simpati dan komitmen menghancurkan terorisme.

Dalam waktu sekejap, beberapa orang yang dianggap teroris sudah ditangkap. 145 Napi teroris segera diasingkan ke Nusa Kambangan.

Pemerintah dan aparat negara berkepentingan untuk menunjukkan supremasi kekuatannya. Kekuatan Islam radikal dan Jihadis terpaksa tiarap untuk sementara waktu.

Sangat berbeda dengan sikap pemerintah dan aparat negara pada Mei 98 dan dalam skala yang jauh lebih besar pada 1965-1966.

Pada Mei 98 jelas militer mengkoordinasi, memimpin dan mengatur kekacauan yang memicu ledakan rasis dahsyat terhadap komunitas Tionghoa.

Sama halnya dengan yang terjadi pasca 1 Oktober 1965. Militer di bawah pimpinan Jendral Soeharto mengkomandoi pembantaian masal tidak berperikemanusiaan yang menyebabkan jutaan orang yang tidak bersalah dibunuh; melakukan penangkapan massal sehingga ratusan ribu orang-orang yang tidak bersalah masuk tahanan, 100 ribu di antaranya meringkuk dalam tahanan tanpa proses peradilan selama 12 tahun; dan melakukan persekusi politik terhadap jutaan orang selama bertahun-tahun. Rakyat diteror sedemikian rupa sehingga Indonesia bertahun-tahun merupakan sebuah penjara terbesar di dunia...

Dalam menindak teroris Islam, pemerintah Jokowi melalui aparat hukumnya tegas. Pentolan ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman setimpal dengan kejahatannya.

KOMNASHAM tentang 1965 dan TGPF tentang Mei 98 telah membuktikan bahwa telah terjadi kejahatan negara berupa pelanggaran HAM yang serius dan keterlibatan militer. Akan tetapi, tidak ada satu-pun pelaku yang ditahan, diadili dan dihukum.

Dalam kasus 1965 telah terkuak peran dan keterlibatan Soeharto. Para tokoh militer yang terlibat sudah non aktif. Dalam kasus Mei 98 masih terdapat beberapa teori, akan tetapi ada dua pelaku utama yang dituduh terlibat, yaitu Wiranto, pada waktu itu Pangab, kini Menko Polhankam; dan Prabowo, pada waktu itu PangKOSTRAD, kini capres.

Sejarah menunjukkan bahwa selama pemerintahan sipil sangat tergantung atas dukungan militer, impunitas terhadap para tokoh militer akan tetap berlangsung.

Celakanya Impunitas terhadap militer aktif maupun non aktif merupakan sebuah signal jelas bahwa pemerintah atau para tokoh politik dan militer bisa setiap saat, demi kepentingan politik, melakukan kejahatan negara tanpa ada dampak hukum apapun.

Pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika

Pada zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965) berkembang perdebatan sengit tentang "jalan keluar" yang harus ditempuh komunitas Tionghoa. Paham Integrasi, yang kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme disebar-luaskan oleh Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Intinya adalah komunitas Tionghoa mengintegrasikan dirinya dalam semua kegiatan politik, ekonomi dan sosial tanpa menanggalkan ke-Tionghoa-annya. Mereka berpendapat bahwa kesetiaan seseorang terhadap Indonesia tidak bisa dikaitkan dengan latar belakang ras. Dan mereka menganjurkan komunitas Tionghoa yang sudah ber-generasi hidup di Indonesia diterima sebagai suku Tionghoa, sebagai suku yang tidak terpisahkan dari tubuh nasion Indonesia.

LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan  Bangsa) di lain pihak menganjurkan jalur asimilasi, yang kini lebih dikenal sebagai pembauran. Mereka menginginkan komunitas Tionghoa meninggalkan kultur Tionghoa, menghentikan hubungan emosional dengan Tiongkok, mengganti nama dari Tionghoa ke non Tionghoa dan menghilangkan ciri biologis ke-Tionghoa-an dengan kawin campuran. Sebagian dari mereka bahkan menganjurkan Tionghoa untuk masuk Islam.

Di zaman Demokrasi Terpimpin, aliran integrasi berada di atas angin. Baperki yang kiri memperoleh dukungan Soekarno dan para partai politik kiri besar, termasuk PKI. LPKB yang didukung oleh Angkatan Darat dan berbagai partai politik berhaluan kanan tidak bisa mengembangkan paham asimilasi.

Perubahan kondisi politik yang drastis setelah 1 Oktober 1965 mengubah posisi ini. Baperki dibubarkan dan paham asimilasi di undang-undangkan oleh rezim militer Soeharto.

Selama 32 tahun di bawah kekuasaan Soeharto telah terjadi cultural genocide. Komunitas Tionghoa dilarang merayakan tahun baru imlek di depan umum. Huruf Tionghoa dilarang. Pertunjukan Barongsai dilarang. Menjalankan ibadah Tionghoa di depan umum-pun dilarang. Orang Tionghoa dipaksa untuk mengganti nama. Beratus UU dan peraturan rasis dikeluarkan dan dilaksanakan oleh penguasa.

Komunitas Tionghoa hidup di negara yang mereka ikut bentuk sebagai "anak tiri", mengecapi diskriminasi dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan pendidikan.

Kerusuhan Mei 98 di mana komunitas Tionghoa yang tanpa perlawanan dipaksa melaksanakan paham asimilasi ternyata tetap dijadikan sasaran rekayasa politik. Dan mereka tidak memperoleh dukungan layak, baik dari pemerintah maupun komunitas mayoritas. Ini merupakan bukti kuat bahwa asimilasi bukan-lah jalur selamat untuk komunitas Tionghoa.

Pasca Mei 98 memungkinkan diskusi-diskusi terbuka yang membahas jalan keluar masalah komunitas Tionghoa. Pada umumnya masyarakat menerima bahwa paham multikulturalisme atau pluralisme, yang dipraktekkan di banyak negara maju, sesuai dengan lambang negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, adalah jalur yang jauh lebih tepat ketimbang pembauran atau asimilasi.

Mungkinkah Terulang Kerusuhan Mei 98?

Saya mengumpamakan ledakan rasis berskala kerusuhan Mei 98 sebagai bush fires yang terjadi karena arsonists yang kerap melanda Victoria di Australia atau California di Amerika Serikat.

Ada tiga faktor utama:

Adanya kesenjangan ekonomi di mana rakyat jelata menderita kemiskinan dan gap antara kaya dan miskin kian membesar. Ini berfungsi sebagai kehadiran musim kemarau kering yang membuat semua rumput dan semak belukar kering kerontang.

Adanya benih-benih rasisme yang masih berada dalam tubuh bangsa Indonesia, sebagai warisan zaman penjajahan Belanda dan kurangnya komitmen pemerintah untuk mengenyahkannya dari bumi Indonesia. Ini berfungsi sebagai percikan api kecil yang tidak pernah padam di sebuah ladang.

Adanya rekayasa politik dari tokoh pemerintah yang menginginkan komunitas Tionghoa sebagai kambing hitam kemiskinan atau penderitaan rakyat. Ini berfungsi sebagai bensin yang siap dilempar ke percikan api kecil tersebut di atas.

Lemparan bensin ke percikan api ini akan menimbulkan bush fire yang dahsyat.

Bilamana ketiga kondisi di atas berada pada waktu yang bersamaan, akan terjadilah ledakan rasisme berskala kerusuhan Mei 98.

Kerusuhan Mei 98 terjadi karena ketiga kondisi di atas hadir di Indonesia pada waktu bersamaan.

Pertanyaannya adalah apakah ketiga kondisi ini berada di ambang pintu?

Kesenjangan ekonomi belum terlihat. Akan tetapi jatuhnya rupiah yang tidak terkendalikan bisa mendorong Indonesia menuju ke resesi ekonomi, yang mengakibatkan penderitaan rakyat.

Pilkada Jakarta pada 2017 menunjukkan bahwa sentimen anti Tionghoa ternyata berperan dalam kekalahan Ahok.

Yang berbeda dengan pra Mei 98, pemerintah di bawah pimpinan Jokowi cukup teguh menjunjung tinggi pluralisme dengan penekanan komunitas Tionghoa merupakan saudara se-tanah air. Akan tetapi sejarah-pun menunjukkan bahwa di kalangan pemerintah dan pimpinan partai-partai politik, bisa berkembang sikap lip service. Pada waktu tertentu, sikap dan keinginan untuk menjadikan komunitas Tionghoa sasaran empuk politik bisa bangkit dan menjadi program politik sementara pemimpin.

Untuk mengurangi dampak rekayasa politik di atas, komunitas Tionghoa harus berpihak dengan rakyat jelata, menjadikan aspirasi rakyat aspirasinya sendiri sehingga timbullah rasa segolongan dengan rakyat.

Dengan demikian rakyat tidak mudah dikerahkan oleh tokoh pemerintah ataupun militer untuk menghantam golongannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun