Mohon tunggu...
Michael Siahaan
Michael Siahaan Mohon Tunggu... Jurnalis - Berpikir, bekerja, bersahaja.

Apa guna membaca tanpa menulis?

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pancasila di Antara Zaskia, Sahat, dan MPR

23 April 2016   13:34 Diperbarui: 23 April 2016   14:06 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Michael Siahaan

Akhir-akhir ini Indonesia kembali “demam” Pancasila setelah seorang penyanyi dangdut dengan pendidikan pas-pasan bernama Surkianih atau lebih dikenal sebagai Zaskia Gotik menyebut lambang sila kelima Pancasila adalah “bebek nungging”.

Pancasila, yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak pernah dibahas dan dianalisa secara luas, kembali mencuat ke permukaan bersamaan dengan hujatan masyarakat kepada Zaskia yang seolah menganggap sang biduan seorang penghianat negara.

Tak pelak, tekanan bertubi-tubi hinggap di pundak si “Eneng”. Berkali-kali permintaan maaf terlontar dari mulutnya, kepada masyarakat kepada Presiden, sesekali diiringi dengan air mata. Pemeriksaan polisi pun dilewatinya.

Namun, layaknya sinetron cinta di televisi, akhir kisah Zaskia berakhir indah. Dia tidak kena hukuman apapun dan bahkan diangkat menjadi “Duta Pancasila” oleh Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR), sebuah jabatan absurd yang hanya ada di era Presiden Joko Widodo. Nanti akan kita bahas.

Kita tinggalkan si mantan tunangan Vicky Prasetyo. Cerita pun bergulir ke Sumatera Utara, di mana seorang aktivis bernama Sahat Gurning ditangkap polisi akibat mempublikasikan gambar dia sedang menendang lambang Garuda Pancasila melalui akun FB-nya. Sahat menyebutnya sebagai “Pancagila”.

Dari penelusuran, sebenarnya Sahat sudah mem-“posting” gambar itu sejak tahun 2014. Dia lalu me-“repost”-nya kembali pascakasus Zaskia Gotik dan mendapat tanggapan dari teman FB-nya yang tentu semakin banyak. Menariknya, dia bahkan membuat sendiri lima sila dari “Pancagilanya”.

Pertama, Keuangan yang Maha Kuasa. Kedua, Korupsi yang Adil dan Merata. Ketiga Persatuan Mafia Hukum Indonesia. Keempat, Kekuasaan yang Dipimpin oleh Nafsu Kebejatan dalam Persengkongkolan dan Kepura-puraan. Kelima Kenyamanan Sosial bagi Seluruh Rakyat Keluarga Pejabat dan Wakil Rakyat.

Oke, tahan dulu nafas anda, karena ini belum selesai. Mari sejenak menuju ke Senayan, tempat di mana para wakil rakyat yang berbadan harum, cantik, ganteng, pintar dan bermartabat bekerja.

Dari kompleks gedung kura-kura megah itu tercetuslah sebuah ide nan “brilian” bernama empat pilar kebangsaan, yang isinya adala Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Pilar, dalam KBBI artinya tiang penguat, bisa juga penyangga. Istilah ini dipopulerkan oleh mantan Ketua MPR Taufik Kiemas, yang juga suami dari Megawati Soekarnoputri.

MPR pun menjadikan “empat pilar kebangsaan” itu sebagai program wajib yang harus disosialisasikan ke seluruh rakyat Indonesia sampai ke pelosok. Berbeda dengan Zaskia dan Sahat, tidak ada gembar-gembor yang terlalu terkait hal itu. Masyarakat adem ayem, sampai akhirnya Mahkamah Konstitusi secara tegas melarang penggunaan frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” oleh MPR melalui Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013 yang dikeluarkan setelah adanya “judicial review” terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Dalam kesimpulan nomor 9 pada putusannya , MK menegaskan bahwa dasar tidak sama dengan pilar. “Ibaratkan sebuah bangunan besar maka pilar-pilar bangunan tersebut berada di atas dasar, dengan demikian dasar menjadi pijakan utama atau rujukan utama dari pilar-pilar di atasnya.”

Sementara nomor 10 menyebutkan, “Bahwa istilah pilar tidak pernah dikenal dalam khidupan berbangsa dan bernegara sejak Indonesia diproklamasikan dan baru muncul sejak disosialisasikan oleh MPR RI periode 2009 s/d 2014.” Selanjutnya MPR memutuskan “demikian menjadi jelas kedudukan Pancasila adalah sebagai dasar negara yang tidak sejajar dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Yang terjadi kemudian, seperti acara pelawak Tukul yang dilarang dan timbul kembali dengan nama yang sama ditambah kata “Bukan”, MPR kembali mempromosikan empat pilar dengan nama “empat pilar MPR RI” atau “empat pilar saja”, dengan substansi yang sama dengan sebelumnya. Sosialisasi pun terus dilancarkan.

Anggota dan pimpinan MPR terus melakukan proyek “jalan-jalan” untuk mempromosikan “empat pilar”, yang masih saja memasukkan Pancasila di dalamnya. Mungkin ratusan juta sampai miliaran rupiah dikeluarkan satu tahun untuk mempromosikan kegiatan atas empat pilar yang ilegal itu.

Padahal, dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), Sukarno menyebut Pancasila sebagai dasar falsafah atau "Philosofische grondslag" dari Indonesia.

“’Philosofische grondslag’ itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi,” kata Bung Karno ketika itu.

Pancasila sebagai dasar negara kemudian disebut dengan jelas dalam pembukaan UUD 1945 alinea yang disahkan pada 18 Agustus 1945.

Sekarang tibalah kita pada inti persoalan. Mari kita jabarkan sedikit. Zaskia Gotik, dalam kapasitasnya sebagai orang yang memang dibayar untuk menghibur, bisa kita yakini tidak memiliki maksud tertentu memanfaatkan Pancasila untuk kepentingan dirinya sendiri, untuk mengambil keuntungan pribadi. Dengan mengatakan “bebek nungging”, dia tidaklah mendapat apa-apa kecuali tawa dari penonton, itupun penonton bayaran.

Lalu Sahat. Pemuda asal Sumatera Utara ini berhasil membuktikan bahwa Indonesia belum akrab dengan “satire”. Coba cek saja satu-satu “Pancagila”-nya Sahat, semua terasa masuk di akal, bukan? Kalau kita masih punya mata hati, apa yang ditulis Sahat adalah rangkuman dari ungkapan hati rakyat yang ditindas, diinjak-injak oleh kekuatan modal dan kekuasaan. Menolak apa yang dikatakan Sahat, berarti bangsa Indonesia secara gamblang mengingkari keadaan negerinya sendiri.

MPR? Proyek “empat pilar” itu sudah berjalan sejak 2012, berarti umurnya sudah menjelang empat tahun. Selama itu, mereka telah melakukan sosialisasi sebanyak ratusan kali, sesuatu yang tentunya menghabiskan dana rakyat yang tidak sedikit. Semua biaya ditanggung negara, mulai hotel berbintang, transportasi, makan, minum, sampai jalan-jalan, termasuk untuk para wartawan yang lazim diikutkan.

Walau MK sudah melarang Pancasila masuk dalam empat pilar, mereka tetap menjalankannya dengan “sepenuh hati”. Semua diam, entah karena tidak tahu, tidak mau tahu, atau karena mau tidak mau pura-pura tidak tahu karena sudah disusupi kepentingan. Ketika Zaskia dan Sahat, yang tidak merugikan negara dan rakyat sepeserpun harus ditangkap polisi, kenapa proyek MPR ini bisa berjalan dengan lempang selama bertahun-tahun? Bukankah dengan memasukkan Pancasila dalam empat pilar berarti mengingkari Pancasila sebagai dasar negara, dasar dari seluruh hukum legal di negeri ini? Dan itu berarti merendahkan Pancasila?

Sifat masyarakat kita ini dipaparkan dengan baik oleh kalimat singkat dari peneliti Ito Prajna-Nugroho dalam bukunya, Fenomenologi Politik – Membongkar Politik Menyelami Manusia. Menurut Ito, yang dikaitkan dengan fenomenologi Edmund Husserl, kegiatan “berpikir” terkait erat dengan “bertanya”. Jadi, seorang baru bisa dianggap sungguh-sungguh berpikir ketika dia mampu bertanya. Dengan begitu dia bisa menyibakkan realitas.

Nah, ketika masyarakat tidak pernah mempertanyakan kelakuan anggota majelis yang terhormat, artinya kita, sebagai bagian dari masyarakat, juga tidak pernah berpikir. Tidak pernah berpikir bahwa perbuatan menyamakan Pancasila sebagai pilar itu salah. Tidak pernah berpikir bahwa dasar negara adalah selamanya dasar negara, dasar dari segala keputusan negara.

Pancasila sebagai dasar negara, adalah acuan semua kebijakan pemerintah yang keseluruhannya tentu ditujukan untuk kepentingan rakyat. Pancasila adalah dasar negara, “senter” negara ketika negeri merangkak dalam malam. Itulah Pancasila, karna itulah dia tidak mengatur kehidupan pribadi, seperti yang dicekcoki Orde Baru Soeharto kepada kita selama berpuluh tahun.

Pancasila adalah satu kesatuan dari lima sila yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Duta Pancasila hanya satu: pemerintah, bukan Zaskia Gotik! Penunjukan Zaskia Gotik sebagai duta oleh MPR juga sudah masuk dalam usaha pengkerdilan Pancasila, sesuatu yang dijalankan secara masif oleh rezim Suharto sejak tahun 1966.

Jadi ketika Zaskia, Sahat dan MPR berbicara tentang Pancasila, mungkin kita sudah dapat mengambil kesimpulan, siapa yang sebenarnya musang berbulu domba.

***0***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun