Mohon tunggu...
Michael Siahaan
Michael Siahaan Mohon Tunggu... Jurnalis - Berpikir, bekerja, bersahaja.

Apa guna membaca tanpa menulis?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jurnalis Narsis - Ketika Wartawan Sakit Gigi

20 Februari 2016   20:24 Diperbarui: 20 Februari 2016   20:48 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sumber gambar.

 

Jurnalis Narsis adalah cerita-cerita ringan tentang kehidupan sehari-hari seorang jurnalis.

 

Jakarta, Sabtu (20/2) - "Pak, saya hari Jumat (19/2) izin liputan siang ya, soalnya pagi mau berobat ke dokter gigi," ketikku via whatsapp kepada korlip.

Tidak lama, datang jawaban. "Oke," balas dia. Memang Pak Korlip satu itu penuh pengertian. Tahu saja mulut adalah salah satu bagian penting dari pekerjaan seorang wartawan. Dan mulut tidak akan bisa berkarya dengan gigi senat-senut.

Esoknya, aku menuju ke Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas Indonesia, tempat yang terpilih menjadi tempat penyembuhan. Seorang teman menyarankan ke sana, alasannya: murah!

Bukan apa-apa, menjadi seorang wartawan tidak bisa membuatmu jadi sosok yang kalau sakit gigi bisa dengan mudah mengeluarkan uang ratusan ribu sekali bertatap muka dengan dokter, belum termasuk perawatan, obat dan tetek bengek lain.

Sebagai gambaran, di RSGM UI "scaling" atau bersihkan karang gigi "hanya" Rp65.000, di luar uang pendaftaran Rp15.000. Rontgen gigi jenis "panorama" atau menyeluruh, juga Rp65.000. Coba bandingkan saja dengan perawstan gigi di RS-RS lain.

Kenapa bisa murah? Aku juga belum pernah nanya, tetapi sepertinya karena para tenaga kesehatannya adalah mereka yang sedang belajar jadi dokter gigi (sedang co-ass) dan jadi spesialis.

Untuk pekerjaan sederhana, seperti scaling tadi, biasanya dikerjakan anak co-ass. Namun kalau kasusnya agak berat seperti yang aku alami, mereka alihkan ke dokter gigi, yang sedang belajar jadi spesialis.

Terkejut

Gigiku ternyata infeksi parah, dirontgen saja harus dua kali. Asem. Pelajaran juga bagi pembaca, gigi busuk itu jangan didiamkan lama ya. Karena akibatnya,  kuman-kuman itu akan bertemu satu sama lain, saling suka, katakan cinta, pacaran dan akhirnya berkembang biak.

Selanjutnya kalian akan bernasib seperti jomblo yang pergi menemani orang pacaran. Sakit. Hahahaha....

Sudah-sudah gak usah jadi galau. Intinya aku harus menjalani pengobatan yang dinamakan "perawatan saluran akar". Jadilah hari itu aku dirawat dokter Ayu, dokter gigi angkatan tahun 1996 yang sedang mengambil pendidikan khusus syaraf gigi.

"Ini tidak bisa sekali ya, Mas. Harus empat atau lima kali perawatannya, kalau bisa sekali seminggu. Bisa, kan?" ujar perempuan ramah itu.

"Bisa, Mbak," jawabku cepat, dengan harapan korlip bisa memberiku izin di hari2 berikutnya. Tapi kayaknya boleh sih. Hehe..

Akhirnya proses pertama dimulai. Gigiku dibersihkan, dibius, dibor, dibakar (untuk bersihkan jaringan-jaringan dampak pembusukan), gigi sedikit dipotong dan lain-lain. Macam-macamlah. Total waktunya dua jam! Ya, dua jam hanya untuk mengurusin sepotong gigi tak berdaya di mulut bagian belakang.

Btw, dokter Ayu ini sangat ramah. SANGAT. Saking ramahnya, setelah aku disuntik dia pasti bilang, "Makasih, ya, sudah nahan sakitnya..."

Duh, dek. Abang mana yang gak lemas jantungnya dengar keramahan adek. Kalo gak karena dia angkatan 1996 dan karena kemungkinan sudah berkeluarga, pasti abang udah... udah anggap biasa aja. Haha..  Gigi lagi sakit, coy, pikiran susah ke mana-mana. :p

Singkat cerita, semua selesai. Tibalah saat membayar. Dag..dig..dug.. Kira-kira kena berapa, ya, setelah dua jam perawatan dengan berbagai macam obat dan peralatan, diiringi teknik-teknik rumit? Aku menutup mata sejenak, mengumpulkan keberanian, menggenggam tangan erat (hampir saja tangan orang) kemudian memberanikan bertanya ke kasir.

"Berapa semua, Bu?"

*Tahan napas dulu*

"Rp35.000, mas," jawab ibu itu ringan.

Tunggu, CUMA Rp35.000??

"Rp35.000, Bu?" aku memastikan, dengan nada terkejut seperti orang baru menang lotere Rp1 miliar.

"Iya, Mas," kata ibu itu, nadanya jengkel.

Sebelum dia berubah pikiran, aku pun cepat-cepat membayarnya, dan pergi sebelum ibu itu menyadari. (Ini bagian dramatis saja, sebenarnya aku masih di sana nunggu duit kembalian. :D).

 

Pesan.

Tulisan ini sekalian usul (atau bisa juga rekomendasi) kepada kawan-kawan berkantong tipis, khususnya wartawan, misalnya sakit gigi atau punya keluhan dengan mulut, berobat saja ke RSGM UI di Salemba. Walaupun semua yang bekerja di sana juga masih belajar, mereka sudah memiliki kemampuan mumpuni untuk mengobati permasalahan gigi-mulut anda. Selain itu, di sana juga banyak dokter-dokter gigi senior dari UI yang siap membantu, baik dokter yang bekerja (biasanya kalau ada kesulian mereka bakal minta pertimbangan dokter senior) maupun pasien.

 

Catatan.

Tidak ada kerja sama antara RSGM UI dan aku. Apa yang tertulis di sini murni kehendak pribadi, niat baik agar kawan-kawan, saudara-saudara, yang sedang sakit gigi atau mulut tetapi ragu berobat karena masalah biaya, untuk pergi memeriksakan diri. Jangan sampai parah dan menyesal di kemudian hari.

 

 

Salam!!

***0***

 

 

Baca juga: Jurnalis Narsis 1 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun