Â
  Sumber gambar.
Â
Jurnalis Narsis adalah cerita-cerita ringan tentang kehidupan sehari-hari seorang jurnalis.
Â
Â
  Jakarta, Kamis (18/2) - "Mike, kamu besok ke acara ini ya," tulis Korlip di pesan whatsapp, Rabu malam. (Bagi yang belum tau korlip itu apa, bisa dilihat di sini). Agak panjang udangannya, teapi ketika sudah di bagian jam acara Seketika badan lemas bagai kena demam berdarah.
   "Jam 8 pagi... Asem!" umpatku ganteng, eh maksudnya kesal.
   Bukan apa-apa, aku paling susah bangun pagi. Biasanya liputan itu jadwalnya minimal jam 09.00 WIB. Dan kalau sudah tidur, jangankan alarm, Presiden Jokowi turun tahta saja aku pasti gak akan peduli (namanya juga tidur.. :p). Akhirnya jadilah malam itu uring-uringan, mencoba cepat terlelap.
  Tetapi tetap saja, dunia mimpi itu baru bisa dikunjungi sekitar pukul 01.00 WIB lewat, seperti biasa. Sebelum menutup mata, alarm di dua hape diaktifkan. Satu ada tiga alarm, satunya lima. Jadi total delapan. :(
   Tidak ada mimpi "enak" malam itu. Mungkin karena pikiran terus menerus terganggu.
   Akhirnya pagi tiba, alarm berbunyi bergantian. Sial. Ku buka mata sebentar, cek hape, cek skor Liga Champions, kemudian turu meneh. Ngantuk coy.
   "Ah, baru jam enam."
   Aku tersentak. Sial, sudah setengah delapan! Buru-buru mandi, gosok yang sempat digosok, kemudian pakaian, siap-siap, tak lupa bawa jimat sakti: kartu pers.
  Kenapa sakti? Karena hanya bermodal kartu itu bisa berkunjung ke mana saja, bertemu siapa saja dan bebas dari tilang. Haha..
   Cek lagi tempatnya: Hotel Le Meridien, Sudirman. Oke, tahu! Kemudian pesan Grab Bike, dan berangkat.
   Waktu jam 08.10 WIB. Terlambat 10 menit.
   "Ah, paling belum mulai," mencoba menenangkan diri yang tidak tenang.
   Macet pulak! Sompreettttoooo....
Â
Le Meridien, 09.10 WIB (kira-kira)
Â
   Jalan buru-buru, kartu pers sudah di leher.
   "Maaf mas, masuknya bukan dari sini," kata satpam berbaju biru. Aku diam sejenak dan lihat dia gak sendiri. Ada tiga orang, kek mau ngajak berantam. Aku emosi.
   "Oh, makasih ya Mas..," kataku sopan, ditambah senyum pula. Ternyata memang perasaan itu tidak harus selalu sesuai dengan kenyataan. :D
   Setelah memutar dan sampai di depan pintu lobi, aku nanya petugas. "Mas, ballroom di mana?"
   Dia menunjuk ke kiri dan aku langsung berlari. Afuuu, sudah jam 09.30 WIB!
   Terlambat satu setengah jam.
   Tiba di TKP, suasana tidak terlalu ramai. Sudah masuk sepertinya. Aku langsung ke penerima tamu.
   "Dari media, Mbak."
   "Media mana, Mas?" tanya dia. Manis juga orangnya.
   "Mmm... Kantor berita, Mbak," jawabku buru-buru. "Udah mulai ya?"
   "Belum, Mas. Sebenarnya untuk wartawan acaranya nanti siang. Sekarang sedang acara pribadi, ada Dubes AS juga," katanya sambil nyodorkan kertas absen.
   "Nanti siang?" tanyaku heran.
   Asem juga ya kan, sudah buru-buru, di undangan jam 08.00 WIB, eh pas di tkp katanya acara nanti siang.
   "Ya udahlah, Mbak, gak apa-apa. Catat nama dulu," jawabku rada kesal.
   Pas lagi ngisi formulir, bapak-bapak tiba-tiba ngantri di belakang. Dia lalu mengajukan pertanyaan yang membuatku terlihat bodoh.
   "Mbak, ini acara seminar digitalisasi perbankan, ya?" Acara yang sama denganku. Mungkin undangan, pikirku.
   "Bukan, Mas, ini acara GCF, yang ekonomi di sebelah.." kata Mbaknya polos.
   Entah dari mana tiba-tiba truk datang dan menabrakku dengan kecepatan tinggi. DUaarrr!! Salah tempat saudara-saudaraaaaa....
   Dari posisi membungkuk (karena menulis), aku tiba-tiba tegak seperti pasukan SS di depan Adolf Hitler.
   "Maaf, Mbak. Saya salah tempat," lalu berlalu begitu saja...
Makan Siang Numpang
  Ternyata di sebelah acara belum mulai! Padahal waktu sudah jam 09.30 WIB. Aku bahkan masih sempat makan kudapan (kuenya enak!), minum dua jenis cairan, es teh lemon dan mangga, mondar-mandir, manjat tebing dan hampir saja pergi ke barat mencari kitab suci, sebelum akhirnya acaranya mulai.
   Anda tahu mulainya jam berapa? Jam 10.20 WIB! Di undangan padahal jam 08.00 WIB. Bingung antara sedih dan bahagia. T_T
   Acara mulai. Siapkan dua hape. Satu merekam, satu mengetik cepat (istilah lapangannya: tik-pet, ketik cepet). Di sela itu kemudian ada door stop, lalu duduk lagi. Eh, yang belum tau door stop itu apa bisa lihat di sini.
   Tik...tok..tik...tok..
   Perut sudah mulai lapar. Acara belum selesai. Ku lirik jam di tangan. Pukul 11.50 WIB. Alhamdulillah bentar lagi selesai (karena di undangan acara sampai jam 12.00 WIB). Ternyata molor, sampai jam 12.30 WIB. Tak apalah, cuma setengah jam.
   Pengumuman yang ditunggu itu pun tiba. Suara MC bergema.
   "Acara selanjutnya adalah sesi kedua, dengan pembicara...."
   Uaayeenngggggggg.... Awak kira dia ngumumkan silakan makan siang... Siaalll.
   Bisa dibanyangkan jam 12.30 itu acara sesi kedua?? Kok gak ditunda dulu kek.. Kasih kesempatan "isi bensin". Lagipula pembicara-pembicara penting sudah ada di sesi pertama.
   Wartawan-wartawan pun memutuskan keluar. Kerja sih kerja ya kan, tapi kan perlu maem juga.
   Kami keluar dan masalah kedua datang: makan siang masih ditangguhkan, belum ada lauk pauk atau nasi atau bahkan air minum yang terbuka untuk disantap. Nunggu acara selesai!
   Alamak... Salah apa aku ini???
   Tapi, Tuhan memang baik.
   "Mike!!" kata suara dari sebelah. Ternyata ada teman yang liputan di ruangan yang hampir ku masuki tadi, dari Antara juga. Dan, tebaklah sodara-sodara, dia lagi makan! Yang di sebeleh memang lagi makan siang, acara sudah selesai soalnya.
   Aku samperin dia. Ngobrol bentar dan dia nanya.
   "Lo udah makan? Makan gih."
   "Belum, belum disediain di sana, acara belum rampung. Gak ah, gak enak makan di sini. Aku kan gak liputan acara ini," jawabku sok tegas, padahal lapar.
   "Ya elah, gue temenin deh ambil lauknya. Ayolah," katanya memaksa, mungkin iba liat muka tersiksa karena nahan-nahan lapar.
   Jadilah tadi makan siang numpang di acara sebelah. Liputan di kanan, makan di kiri, plus snack pula. Haha..
Rio ke F1
   SMP. Selesai Makan Pulang. Ke rumah? Bukan, ke kantor. Ngetak-ngetik dulu. Eh, sedang asyik-asyik (cie asyik) kerja, terdengar pengumuman di Metr* TV.
   Rio Haryanto resmi ke F1! Dia gabung Manor Racing, tim kecil yang kalau masuk 10 besar saja mungkin bisa masuk MURI.
   Tetapi itu tidak mengurangi kegembiraanku mendengarnya. Setelah zaman Schumacher vs Hakkinen, hampir tak ada lagi motivasi nonton balapan jet darat. Kini setelah Rio masuk, semangat nonton sepertinya kembali lagi.
   Dan aku yakin kalau Manor bisa mempertahankan Rio selama dua musim, tim asal Inggris itu bisa sangat tenar di Indonesia, bersaing sama Liverpudlian dan Manchunian yang jumlahnya di Indonesia sudah cukup membentuk sebuah negara baru.
   Rio sudah meraih mimpinya dan sebentar lagi akan menjalaninya. Tidak main-main, dia bisa melengketkan pantatnya di kursi F1 adalah karena keringat rakyat Indonesia, karena sebagian besar uang jaminan untuk masuk ke Manor dibayar oleh pemerintah.
   Namun memang sayang, Rio tidak pernah berjanji:
   "Kalau aku tidak memenangkan satu seri pun di F1, gantung aku di Monas!"
   Ya, sayang sekali...
Â
***0***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H