Rei mulai berpikir, "Oh, aku tau! Bagaimana kalau kakak membantuku? Kakak kan lebih tinggi dariku, jadi kakak pasti sampai!" Vei mengerutkan dahinya, "tidak bisa-"Â
"Kakak, aku mohon.. bukannya kakak mau aku tidak dibully lagi?" Rei memotong ucapan kakaknya. Vei pun terdiam sebelum kemudian menghela napas, "Baiklah, baiklah, kali ini saja ya." "Horee!!" Sebuah senyuman manis terlukis di wajah seorang Rei.
"Heeep.. ukhh.." Dengus Vei yang berusaha keras untuk meraih topi bundar berwarna biru milik teman Rei. Karena tinggi Vei tidak mencapai 160 cm, ia terpaksa memanjat railing jembatan sambil berusaha mengulurkan tangannya setinggi mungkin ke atas. "Tidak sampai.." Desah Vei yang kecewa.
Vei melihat senyuman di wajah Rei mulai memudar dan berpikir "Tidak, tidak boleh begini, aku harus menggapainya apapun caranya!" Vei mengumpulkan keberanian dan melompat ke atas, "Hup, dapat!!" Ucapnya dengan riang. "Yayyy, kakak memang hebat!" Seru Rei kepadanya.
"Eh, kakak?" Wajah Rei yang tampak cerah tiba-tiba memucat. "KAKAAAAAAAK!! TIDAAAKKK" Jerit laki-laki usia 10 tahun itu sambil memegang railing jembatan dan memandang ke bawah. Air mata mengalir deras dari wajahnya. Tangan Rei yang terulur ke depan nyaris menyentuh ujung jari kakaknya yang terjatuh. Wajah Vei terlihat hampa dan pikirannya kosong melompong. "Berakhir sudah.. adikku yang cengeng, kamu harus hidup baik-baik, ya..?" Batin Vei yang tersenyum sembari ia memejamkan mata perlahan dan beberapa tetes air mata mengalir dari pipinya.
...
"Vei!" Vei terbangun, mendapati pak Dokter sedang duduk di mejanya sedang ia sendiri sedang duduk di meja pemeriksaan. Ia mengerjapkan mata sebelum kemudian melihat kedua tangannya yang bergerak dan tubuhnya yang utuh tanpa luka/bekas sedikitpun. "Ada apa?" Tanya sang dokter yang merasa heran dengan sikapnya.
"D- dokter..? Ke- kenapa saya ada disini?" Vei berbicara dengan nada yang gemetaran dan terbata-bata. "Hm? Sudah waktunya cek rutinmu kan? Saya akan membacakan hasil pemeriksaan terhadap penyakitmu itu." Jawab sang dokter dengan tenang.Â
"Cek rutin? Ini tanggal berapa, Dok?" Vei tak paham, padahal barusan dia tergelincir dan terjatuh dari jembatan yang tingginya 5 meter di atas permukaan tanah.. kenapa dia bisa ada di rumah sakit? Terlebih lagi dia tidak merasakan sakit sedikitpun. "Ini bulan ketiga pengecekanmu, sekarang tanggal 7 Oktober." Pak Dokter menjawab sembari melirik ke kalender yang terletak di mejanya, disamping sebuah bingkai foto yang berisikan sang dokter sendiri dan seorang gadis kecil yang memegang topi bundar berwarna biru langit-
"7 Oktober? Bukannya sudah lewat? Sekarang harusnya bulan November.." Pikir Vei dalam hatinya. Pak Dokter berdekham dan mengelus dagunya sebentar, "Vei, saya tidak mengerti bagaimana ini mungkin, tapi menurut hasil pengecekan, kamu sepenuhnya sembuh. Tidak ada tanda-tanda penyakit sama sekali di tubuhmu." Vei berusaha mencerna setiap ucapan dokter satu demi satu, "Apa? Saya sudah sembuh, Dok?" Vei yang belum paham dengan apa yang terjadi tambah bingung setelah mendengar perkataan pak Dokter.
"Benar, selamat atas kesembuhannya!" Pak Dokter tersenyum. "Hah?" Vei mengedipkan matanya. Sambil menyelesaikan laporan bulan itu, sang dokter mengucapkan, "7 Oktober, ya.." Kacamata pak Dokter berkilau dan ia pun menyeringai-
Tamat