Jason Becker (tengah) diapit Richie Koetzen (ex gitaris Poison dan Mr. Big) di kiri dan Steve Lukather (gitaris Toto) di kanan.
Direncanakan album ketiganya akan ditulis dengan gerakan mata Jason. Dapat Anda bayangkan betapa tingginya semangat Jason memperjuangkan musiknya. Banyak sekali gitaris terkenal seperti Eddie Van Halen, Marty Friedman, Paul Gilbert, Vinnie Moore, dll yang salut terhadap perjuangan Jason dan mengunjungi rumahnya. Akhirnya salah satu fans Jason mengajukan ide kepada Amy Becker (kakak ipar Jason) untuk membuat sebuah album tribute untuk Jason Becker. Ide ini ternyata berjalan dengan baik, keluarga Jason menghubungi perusahaan-perusahaan rekaman yang bersedia men-sponsori rekaman ini dan gitaris-gitaris yang bersedia membantu project album tribute ini[4].
Dalam waktu 3 bulan, perusahaan rekaman "Lion Music" menyetujuinya. Marty Friedman sebagai sahabat dan pasangan Jason dalam group band Cacophony menjadi gitaris pertama yang menyetujui ide album tribute ini. Ternyata hasilnya di luar dugaan, artis-artis terkenal berikut ini bersedia membantu rekaman tribute ini secara sukarela: Eddie Van Halen, Marty Friedman, Paul Gilbert (ex-Mr.Big), Vinnie Moore, Kee Marcello (ex-Europe), Joe Lynn Turner (ex-Deep Purple dan ex-vokalis Yngwie Malmsteen), Neil Zaza, Anders Johansson (ex-Yngwie Malmsteen), Chris Poland (ex-Megadeth), Jeff Watson (ex-Night Ranger), Stephen Ross, James Byrd, Matt Bissonette, Mark Boals, Ron Thal, Joy Basu, Alex Masi, Lars Eric Mattsson, James Kottak, Ron Keel, Ted Poley, Stevie Salas, Jeff Pilson, ,Phantom Blue, dll. Album tribute ini selesai dan diluncurkan pada hari ulang tahun Jason tgl 22 Juli 2001.
Melampaui Eksistensi, menemukan Esensi
Itulah sekelumit kisah Jason Becker. Dan kisah itulah yang membuat saya yakin bahkan bergenerasi-generasi lagi, Jason akan tetap menjadi musisi yang mampu menginspirasi banyak orang. Kisahnya mengajak kita menyadari bahwa ada kekuatan luar biasa yang membuat seseorang tak akan berhenti menggeluti suatu hal yang dilibati dengan cinta. Kekuatan itu ibarat nyala dalam diri yang tak akan pernah mati walau apapun keadaan yang membatasi tubuh. Tubuh Jason Becker memang hampir tak lagi berfungsi. Namun kebesarannya sebagai musisi tak terbatasi tubuh yang ia miliki. Di sinilah saya mencoba merenungkan lebih dalam kredo filsafat eksistensialis, yaitu ‘Eksistensi mendahului esensi’.
Kelahiran setiap orang di dunia, pada dasarnya adalah semacam keterlemparan ke dalam tubuh yang tak pernah bisa kita pilih sebelumnya. Tubuh dengan warna, ukuran, kombinasi sel, dan pernik-pernik yang sifatnya niscaya. Tubuh itulah yang kemudian menjadi eksistensi seseorang. Namun, seperti juga diajarkan dalam banyak filsafat kuno dan religi, di setiap eksistensi itu selalu ada esensi yang mengikuti. Esensi inilah yang sebenarnya mesti ditemukan manusia, karena di situ letak ‘fitrah’ dari masing-masing diri.
Ketika manusia mampu menemukan esensi tersebut, maka pada dasarnya ia sudah melampaui kebertubuhannya yang fana. Ia masuk ke dalam sesuatu yang agung, mulia, atau bisa pula kita sebut sesuatu yang ‘Ilahiah’, yang sebenarnya sejak awal sudah ada dalam diri. Sesuatu yang Ilahi dalam diri ini memampukan seseorang melampaui keterhentian oleh keterbatasan dari tubuh yang selalu terjerat antara ruang dan waktu. Bahkan, sesuatu yang Ilahiah dalam diri inilah alasan bagi manusia untuk hidup. Persis di sinilah kita bisa merenungkan kalimat Nietzche: “Dia yang tahu mengapa dirinya hidup, akan dapat menjawab semua pertanyaan bagaimana mesti hidup”. Itulah yang bisa kita lihat pada sosok seorang Jason Becker.
Ngomong-ngomong tentang sesuatu yang Ilahi yang mampu membawa manusia melampaui keterbatasan tubuhnya, saya juga teringat kalimat dari Thomas Carlyle: “Hanya ada satu kuil di alam semesta…dan itu adalah tubuh manusia”. Barangkali, Yang-Ilahi bukan berada di kuil-kuil pemujaan yang mengajarkan kerajaan di atas sana, namun bersemayam jauh di dalam diri kita masing-masing. Ia ibarat nyala dalam diri yang jika kita temukan akan terus-menerus membakar semangat kita untuk hidup…Ya,karena memang itulah Jawaban mengapa saya harus hidup.
Semoga Anda menemukan Jawaban itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H