Dalam ketiga kasus diatas, penulis melihat telah terjadi penyimpangan pemahaman agama bagi korban penyalahguna narkoba maupun para pengedar. Para pengedar yang awalnya memiliki pemahaman agama yang lebih baik dibandingkan dengan orang kebanyakan telah mempraktekkan ilmu pengetahuannya di jalan yang salah. Dengan kelebihannya, mereka memperkenalkan narkoba dengan bahasa lain sehingga seolah-olah narkoba yang merupakan barang haram bisa menjadi halal bahkan wajib dipakai untuk ritual (ibadah).
Tak sedikit pula mereka mengutip ayat-ayat suci yang dipakai sebagai pembenaran ulah mereka. Misalkan dalam kasus yang penulis temui diatas. MR dalam pengakuannya mengapa ia membakar rumahnya ternyata lebih dikarenakan faktor halusinasi akut sebagai efek dari narkoba. Dalam halusinasinya, ia melihat rumah itu penuh dengan iblis dan tempat iblis adalah neraka yang terdapat api yag membara. Disinilah saya melihat penyimpangan yang dilakukan MR. Dengan pengetahuan agama yang dimiliki MR, tidak perlu menunggu waktu sampai hari kiamat untuk menyiksa iblis di neraka. Ia akhirnya mencipatakan “neraka” sendiri bagi iblis dengan membakar rumahnya.
Pada kasus SK sebelum ia tobat, ia mengatakan bahwa mengkonsumsi narkoba tidak ada larangannya di dalam agama. Menurutnya, yang dilarang adalah Minuman “khamr”. Sedangkan narkoba karena tidak berupa minuman maka hukumnya adalah boleh (Jaiz). Dengan pengetahuan agamanaya, SK menerangkan berbagai macam dalil mulai dari Asbābun Nuzūl (Sebab-sebab Turunnya suatu ayat) tentang Khamr, Hadist, tafsir, sampai ijtihad pribadinya.
Penjelasan tentang narkoba diatas mungkin sulit diterima oleh common sense. Ditambah fakta bahwa semua ulama mengatakan bahwa narkoba adalah termasuk khamr karena segala sesuatu yang menutup akal (penjelasan Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a) dan memabukkan (Imam Abu Daud).
Termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa tentang Narkotika. Yang pertama, Fatwa MUI tentang penyalahgunaan Narkotika, 10 Februari 1976 yang menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah haram hukumnya. Berikutnya, Komisi Fatwa MUI tertanggal 2 September 1996 memutuskan bahwa menyalahgunakan narkotika (Ectasy dan zat-zat sejenis lainnya) adalah haram hukumnya. MUI juga telah mengeluarkan Fatwa Nomor 53 Tahun 2014 terkait dengan hukuman bagi produsen, bandar, pengedar, dan penyalahguna narkoba.
Pemahaman agama yang keliru dan menyesatkan terhadap suatu ajaran agama inilah dikhawatirkan dapat merusak akidah dan sosial masyarakat. Ayat ayat suci maupun ajaran agama hanya dipakai sebatas untuk pembenaran tindakannya. Mereka mungkin sekarang masih kecil dibandiing alim ulama pada umumnya. Tapi siapa sangka karena ketiaktahuan dan ketidakpedulian kita, jumlah mereka akan terus semakin membesar.
Efeknya lebih lanjut adalah, kebiasaan mengkonsumsi narkoba bukan saja untuk dirinya sendiri melainkan menyebarkannya kepada orang lain. Dalam kasus Gatot diatas, ia bahkan mengajak para muridnya untuk mengkonsumsi narkoba secara beramai-ramai (jamaah).
Fakta ini mungkin hanya sebuah fenomena gunung es yang hanya kita ketahui dibagian permukaan saja. Mungkin masih banyak fakta lain yang belum bisa kita ungkap atau ketahui sampai terbongkarnya peristiwa demi peristiwa.
Sebuah Solusi.
Secara umum, kita masih meyakini bahwa agama adalah benteng utama perlindungan diri, keluarga, dan lingkungan akan bahaya narkoba. Ketika kita mencari rujukan di internet dengan mengetik kata kunci Narkoba dan agama, maka akan muncul tautan tentang fungsi agama dalam melawan narkoba.
Namun yang pelu sangat diperhatikan adalah bahwa dewasa ini tidak ada tempat yang bisa bebas dari ancaman bahaya narkoba. Bahkan faktannya di tempat menimba ilmu agama pun masih didapati adanya penyalahgunaan narkotika. Hal ini membuktikan bahwa penyebaran barang haram tersebut merambah ke seluruh lini.