Mohon tunggu...
afib rizal
afib rizal Mohon Tunggu... -

bukan siapa siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Praktek Penyimpangan Pemahaman Agama dalam Peredaran Narkoba

7 Oktober 2016   13:53 Diperbarui: 7 Oktober 2016   14:21 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa bulan yang lalu, banyak pihak merasa keberatan ketika Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia (RI) Komjen Budi Waseso (Buwas) mengeluarkan pernyataan soal penggunaan narkoba di lingkungan pondok pesantren. Saat itu Buwas menyebutkan santri dan kiai yang melakukan zikir menggunakan ekstasi sebagai doping.

Tak ayal pernyataan tersebut menimbulkan keberatan dari berbagai macam pihak, terutama dari pengasuh pondok pesantren. Ada yang mengatakan hal itu adalah mengada - ada, adapula yang mengatakan bahwa pernyataan ini sebagai peringatan bagi kita bahwa pengedar berusaha masuk ke segala lini termasuk kalangan pesantren agar pengasuh pesantren waspada terhadap peredaran narkotika.

Dilain pihak, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang notabene merupakan lulusan pesantren dan lekat sebagai sosok berlatar Nahdlatul Ulama (NU) mengatakan, "Mereka (santri dan pengasuh pesantren) bukan nge-drug, tetapi ditipu karena (narkoba itu) dibilang vitamin yang diberikan dengan iming - iming membuat para santri lebih kuat tadarus”.

Seiring berjalannya waktu, Pernyatan Budi Waseso ini mulai terbukti kebenarannya. Contohnya, dalam kasus yang menimpa Gatot Brajamusti. Gatot menyebut sabu bukan narkoba kepada jemaahnya, tapi asmat/Aspat (Asap Nikmat) yang merupakan sejenis makanan jin dan juga bisa dikonsumsi manusia. Ironisnya, ada memplesetkan dengan nama "Aspatul Jannah", asap putih dari surga. Berdasarkan penjelasan Gatot kepada penghuni padepokan, aspat dipakai sebagai media menyatukan jin dengan manusia. Dalam prakteknya, Gatot mengisap narkoba bersama jemaahnya.

Salah satu Artis Senior yang pernah menjadi koban Gatot menuturkan, “Kalau saya dari awal tahu dicekokin sabu, saya enggak mau. Dulu kan dibilangnya aspat. Aspat bukan sesuatu yang disembunyikan di sana. Kami memang diberikan. Bukan sesuatu yang kami makan kayak orang nyabu. Cuma sekalilah. Enggak terus-terusan,".

Penulis melihat, gencarnya peredaran narkoba dewasa ini tak lepas dari kelihaian para pengedar dalam memasarkan narkoba ke calon korbannya dengan cara mengelabuinya. Kasus yang banyak terjadi, mereka memperkenalkan narkoba tanpa menyebutkan nama barangnya secara umum. Untuk penyebutan sabu (Metamfetamin) saja banyak istilah bahasa yang berbeda beda antara satu komunitas dengan komunitas lain. Seperti Aspat diatas, Ubas, Micin, Kristal, dll.

Jauh sebelum kasus Gatot menyeruak, sebetulnya di daerah lain sudah banyak terjadi praktek penyimpangan pemahaman agama dalam peredaran narkoba. Penulis sendiri beberapa kali berhubungan dengan mereka yang pernah menjadi korban penyalahguna narkoba.

MR (19 tahun) ini misalnya. Putra seorang kyai kampung disebuah daerah di pesisir timur pantai Sumatera ini telah 2x membakar rumah ayahnya. Pada saat kebakaran pertama, Api berhasil membakar bagian dapur dan sebagian ruangan perpustakaan tempat menyimpan berbagai macam buku dan kitab agama. Selang 40 hari sejak peristiwa kebakaran pertama itu, MR kembali membakar rumahnya untuk kedua kalinya. Naasnya, pada kebakaran kali ini, api berhasil membakar seluruh rumah dan hanya menyisakan dinding tembok rumah orang tuanya.

Kisah lainnya, SK (38 thn) asisten manager di perkebunan, gaji diatas 15 jt sebulan habis tak bersisa untuk beli narkoba. Bahkan pria beranak 1 yang pernah nyantri selama 15 tahun itu selalu menerapkan sunah rosul, "kebersihan itu sebagian sari iman". Aplikasinya, rumah warisan dari orang tuanya senantiasa "bersih". Termasuk atap seng rumahnya yang dia jual sedikit demi sedikit untuk beli narkoba.

Sampai tulisan ini ditulis, keduanya baik SK maupun MR telah tobat dari jeratan narkoba. MR melanjutkan usaha orangtuanya dan sekali kali masih menjadi relawan anti narkoba didaerahnya. Sedangkan SK sudah 2 tahun ini aktif sebagai konselor disebuah lembaga komponen masyarakat yang bergerak dibidang rehabilitasi bagi pecandu narkoba.

Kenapa bisa terjadi ?

Dalam ketiga kasus diatas, penulis melihat telah terjadi penyimpangan pemahaman agama bagi korban penyalahguna narkoba maupun para pengedar. Para pengedar yang awalnya memiliki pemahaman agama yang lebih baik dibandingkan dengan orang kebanyakan telah mempraktekkan ilmu pengetahuannya di jalan yang salah. Dengan kelebihannya, mereka memperkenalkan narkoba dengan bahasa lain sehingga seolah-olah narkoba yang merupakan barang haram bisa menjadi halal bahkan wajib dipakai untuk ritual (ibadah).

Tak sedikit pula mereka mengutip ayat-ayat suci yang dipakai sebagai pembenaran ulah mereka. Misalkan dalam kasus yang penulis temui diatas. MR dalam pengakuannya mengapa ia membakar rumahnya ternyata lebih dikarenakan faktor halusinasi akut sebagai efek dari narkoba. Dalam halusinasinya, ia melihat rumah itu penuh dengan iblis dan tempat iblis adalah neraka yang terdapat api yag membara. Disinilah saya melihat penyimpangan yang dilakukan MR. Dengan pengetahuan agama yang dimiliki MR, tidak perlu menunggu waktu sampai hari kiamat untuk menyiksa iblis di neraka. Ia akhirnya mencipatakan “neraka” sendiri bagi iblis dengan membakar rumahnya.

Pada kasus SK sebelum ia tobat, ia mengatakan bahwa mengkonsumsi narkoba tidak ada larangannya di dalam agama. Menurutnya, yang dilarang adalah Minuman “khamr”. Sedangkan narkoba karena tidak berupa minuman maka hukumnya adalah boleh (Jaiz). Dengan pengetahuan agamanaya, SK menerangkan berbagai macam dalil mulai dari Asbābun Nuzūl (Sebab-sebab Turunnya suatu ayat) tentang Khamr, Hadist, tafsir, sampai ijtihad pribadinya.

Penjelasan tentang narkoba diatas mungkin sulit diterima oleh common sense. Ditambah fakta bahwa semua ulama mengatakan bahwa narkoba adalah termasuk khamr karena segala sesuatu yang menutup akal (penjelasan Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a) dan memabukkan (Imam Abu Daud).

Termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa tentang Narkotika. Yang pertama, Fatwa MUI tentang penyalahgunaan Narkotika, 10 Februari 1976 yang menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah haram hukumnya. Berikutnya, Komisi Fatwa MUI tertanggal 2 September 1996 memutuskan bahwa menyalahgunakan narkotika (Ectasy dan zat-zat sejenis lainnya) adalah haram hukumnya. MUI juga telah mengeluarkan Fatwa Nomor 53 Tahun 2014 terkait dengan hukuman bagi produsen, bandar, pengedar, dan penyalahguna narkoba.

Pemahaman agama yang keliru dan menyesatkan terhadap suatu ajaran agama inilah dikhawatirkan dapat merusak akidah dan sosial masyarakat. Ayat ayat suci maupun ajaran agama hanya dipakai sebatas untuk pembenaran tindakannya. Mereka mungkin sekarang masih kecil dibandiing alim ulama pada umumnya. Tapi siapa sangka karena ketiaktahuan dan ketidakpedulian kita, jumlah mereka akan terus semakin membesar.

Efeknya lebih lanjut adalah, kebiasaan mengkonsumsi narkoba bukan saja untuk dirinya sendiri melainkan menyebarkannya kepada orang lain. Dalam kasus Gatot diatas, ia bahkan mengajak para muridnya untuk mengkonsumsi narkoba secara beramai-ramai (jamaah).

Fakta ini mungkin hanya sebuah fenomena gunung es yang hanya kita ketahui dibagian permukaan saja. Mungkin masih banyak fakta lain yang belum bisa kita ungkap atau ketahui sampai terbongkarnya peristiwa demi peristiwa.

Sebuah Solusi.

Secara umum, kita masih meyakini bahwa agama adalah benteng utama perlindungan diri, keluarga, dan lingkungan akan bahaya narkoba. Ketika kita mencari rujukan di internet dengan mengetik kata kunci Narkoba dan agama, maka akan muncul tautan tentang fungsi agama dalam melawan narkoba.

Namun yang pelu sangat diperhatikan adalah bahwa dewasa ini tidak ada tempat yang bisa bebas dari ancaman bahaya narkoba. Bahkan faktannya di tempat menimba ilmu agama pun masih didapati adanya penyalahgunaan narkotika. Hal ini membuktikan bahwa penyebaran barang haram tersebut merambah ke seluruh lini.

Bagi tokoh masyarakat dan tokoh agama serta semua lapisan masyarakat, ini perlu mendapat perhatian serius. Kita tidak bisa berdiam diri dan berpangku tangan saja sebelum semuanya terlambat. Pendek kata, ilmu pengetahuan (agama) adalah sebuah kekuatan. Namun bagi orang yang salah bisa menimbulkan malapetaka, bukan ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun