Pak Tua membuka matanya. Ia seperti seseorang yang baru saja menyaksikan sepahit-pahitnya kebenaran. Ia menatap potongan tulang di tangannya, lalu melemparkannya ke tanah. Anjing-anjing memperebutkannya. Parahnya, demi satu tulang itu, para anjing sampai-sampai bergumul penuh nafsu.
Pak Tua berdiri, tak peduli. Ia lebih memilih menjauhi anjing-anjing itu sebab terlanjur muak terhadap kebodohannya sendiri. Ia terus berjalan, berjalan, dan berjalan, tanpa lentera, tanpa tujuan, tanpa kebanggaan.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan hancur sebagai manusia.
---
Shyants Eleftheria, freedom of thought
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H