Ketika Pak Tua menguji kecurigaannya, meski emosionalnya hampir berantakan, ia nekat melepaskan hartanya. Namun, ia tidak menghibahkannya kepada orang-orang di dekatnya yang culas seperti burung pemakan karkas, tetapi kepada mereka yang hidup dalam ketiadaan: pengemis-pengemis bisu, anak-anak yatim, dan janda-janda tua yang terlupakan. Tidak main-main, ia berani menjual rumah megahnya untuk mereka dan hanya menggantikannya dengan gubuk sederhana di pinggir kampung sebagai huniannya. Tanah-tanah suburnya pun ia serahkan kepada petani yang tak pernah punya hak atas hasil bertani di tanah-tanah cukong majikan mereka. Ia pun terus mendermakan kekayaannya hingga akhirnya menyisakan tubuh dan pakaian yang melekat di kulit.
Apa yang terjadi kemudian? Ironi---tentu saja. Teman-teman yang pernah memanggilnya "saudara" menjauh, bahkan mereka tidak sudi lagi bertemu. Lebih pahit lagi, keluarganya sendiri---anak-anak dan istri yang pernah ia cintai---meninggalkannya tanpa kata-kata perpisahan.
"Kau sudah gila!" Istrinya kesal tiada tara. "Kau sudah kehilangan akal!"
Akan tetapi, di sinilah ia menemukan akal sehatnya kembali. Hidup bukanlah tentang apa yang ia miliki. Ia telah paham bagaimana seharusnya seseorang hidup dengan dirinya sendiri di hadapan Tuhan. Kekayaan hanyalah jebakan halus yang membuat manusia sering lupa pada esensi keberadaan.
*
Malam merambat pelan. Pak Tua berjalan di atas tanah keras. Beberapa radius ke depan, lampu-lampu kota berkelip. Ia tahu itu bukan tempat yang ia cari. Kota itu pusat hiruk-pikuk manusia rakus, manusia yang sibuk menimbun apa yang sering kali tidak mereka butuhkan.
Tak jauh darinya, bangunan restoran mewah berdiri terang benderang. Mobil-mobil berbaris. Pengunjung masuk berpakaian bagus dan berwajah senang. Mereka makan, tetapi kerap tidak menghabiskan, dan Pak Tua tahu ke mana sisa-sisanya akan berakhir: tong sampah di belakang dapur.
Benar saja. Di belakang dapur restoran, seorang pelayan muncul dengan kantong sampah besar. Ia membuang makanan sisa ke dalam tong. Makanan jatuh bertumpuk-tumpuk. Inilah momen yang ditunggu-tunggu anjing-anjing liar. Surga kecil mereka baru saja dihidangkan.
Pak Tua mendekat hati-hati. Ia mengamati para anjing yang mulai berdatangan, beberapa di antaranya mengendus-endus di dekat tong sampah. Ia menjaga jarak dari tong sampah agar kehadirannya tidak dianggap sebagai ancaman oleh anjing-anjing itu. Pelan-pelan ia memungut apa yang ia perlukan---sepotong tulang sapi tersisa sedikit daging, roti sisa gigitan, dan beberapa helai sayuran layu.
Kini, ia duduk di atas tanah dingin, lalu mengunyah makanan dengan tenang. Di hadapannya, para anjing liar sedang sibuk berpesta. Mereka berebut makanan dengan naluri primitif, saling menggeram, dan saling menggigit jika merasa terancam. Seekor anjing besar berbulu hitam mendominasi tumpukan makanan. Ia menyalak keras ke anjing-anjing yang lebih kecil, menghalau mereka dari "hartanya".
Pak Tua memandangi mereka dalam diam. Di benaknya, pikiran-pikiran mulai berbicara, lalu perlahan-lahan berubah menjadi dialog yang hidup.