Saya mengangguk. "Ya, pekerjaan yang menyenangkan bagi saya."
Adit Satria menatap saya dengan tatapan yang sulit saya artikan. "Bagus. Di zaman sekarang, tulisan-tulisanmu itu---mereka butuh itu."
"Maksudmu?" Saya mendengar keganjilan dalam kalimatnya.
"Begini. Saya ragu pada dunia. Dunia ini sudah terlalu jauh dari empati. Orang-orang terlalu sibuk mengejar bayangannya sendiri. Hidup seperti parade ilusi. Semua orang berpura-pura bahagia, tapi, dalam sunyi, mereka kosong."
Begitulah Adit Satria yang saya kenal. Dia selalu punya pandangan yang dalam tentang hidup. Terkadang, ada pesimistis yang menyelip di antara kata-katanya.
"Saya mencoba menulis tentang empati, tentang bagaimana kita seharusnya saling merangkul." Saya berusaha meyakinkannya mengenai idealisme yang selalu saya pegang.
Namun, tiba-tiba Adit Satria menatap saya tajam, seperti meragukan apa yang saya katakan. "Kau menulis tentang empati? Apa gunanya bicara tentang empati, jika di sekeliling kita, semua orang begitu sibuk mengurus diri sendiri hingga lupa pada mereka yang menderita tepat di depan mata?"
Saya terhenyak dengan kalimat retorisnya dan tidak menyangka tanggapannya sekeras itu. "Saya mengerti maksudmu, Dit. Namun, saya percaya pada kebaikan di dalam setiap orang. Dunia mungkin makin dingin, tetapi masih ada mereka yang tulus. Bukankah itulah yang membuat kita terus bertahan?"
Adit Satria menggeleng-geleng pelan.
"Kebaikan? Apa itu kebaikan? Sering kali, orang-orang baik hanya jadi pion dalam catur kehidupan. Mereka diabaikan, diremehkan. Dalam dunia yang begitu cepat dan tidak sabar, siapa yang punya waktu untuk peduli? Kita hanya berpegangan pada ilusi bahwa kebaikan kita akan diingat, tapi nyatanya, kita semua akan dilupakan."
Kalimat itu menghantam saya. Sebagai penulis, saya sering kali merasa yakin bahwa kebaikan dan empati adalah sesuatu yang perlu ditulis, diteruskan, dan dibagikan. Namun, Adit Satria telah membuat saya meragukan hal itu. Apakah saya benar-benar berhasil? Atau saya hanya berbicara tentang sesuatu yang palsu?