"Dari buku yang kubaca. Katanya, kalau kita mengidap penyakit ini, kita bisa kehilangan seluruh rambut."
"Coba Ayah lihat."
Aku menyerahkan buku yang kubaca ke tangan Ayah. Ia memasang kacamata bacanya, lalu membaca bagian kalimat yang kutunjukkan tentang apa yang aku baca.
Wah, rupa-rupanya anak Ayah berminat jadi dokter, ya. Tapi, jangan membaca buku seperti ini," kata Ayah. Mengapa begitu?
Ayah mendekatkan cangkir ke mulut dan menghabiskan isinya dalam beberapa tegukan dengan satu kali tarikan napas. Aku pun serasa ikut menahan napas, lalu lega ketika Ayah mengembuskan napasnya lagi. Aku tahu Ayah sedang tidak baik-baik saja. Terkadang, ingin menanyakannya lebih banyak, cuma rasanya tertahan. Aku jadi ingin melakukan sesuatu, apa pun, yang bisa membuat Ayah merasa lebih baik dan bisa membuatnya menang melawan penyakit ini.
Di sekolah, aku masih sibuk dengan bukuku, sendirian, tanpa teman. Aku membaca di mana pun aku mau, di bawah pohon, di pojok sekolah, atau di atas ayunan. Aku masih belum punya teman, tetapi tidak apa-apa.
Saat aku membaca di ayunan, Marcus dan beberapa temannya mendekatiku. Mungkin mereka mau mengajakku bermain atau mungkin mau menyiksaku lagi. Marcus tiba-tiba merebut buku di tanganku. Ia membaca sekilas apa yang aku baca, padahal aku yakin ia tidak akan mengerti isi bukuku.
Sontak aku terpaku dan hanya bisa melihat tatkala ia tanpa empati sedikit pun merobek beberapa halaman buku dan menjatuhkannya ke tanah. Jahatnya, tidak ada rasa bersalah, mereka pergi begitu saja. Sungguh jahat mereka. Bukuku jadi kotor. Lembaran yang terlepas bertebaran, sebagian tertiup angin.
Kejadian ini lagi-lagi tidak akan pernah kuceritakan kepada Ayah atau Ibu, terlebih-lebih Ayah. Aku tidak ingin apa yang aku alami di sekolah membuat Ayah kian sakit. Maka, ketika aku dan Ayah menikmati acara televisi di malam hari sambil santai, aku menampakkan semangat tergelak-gelak karena acaranya kebetulan sangat lucu---acara lawak. Ayah menonton sambil berbaring di sofa dan aku duduk di bawahnya, bersandar di tepi sofa, membelakangi Ayah. Ayah tidak tahu kalau aku menyembunyikan kesedihanku dengan tertawa, barangkali Ayah juga begitu.
Namun, Ayah mendadak terbatuk-batuk dan aku langsung merasa sedih mendengar suara batuknya. Apakah sakit Ayah semakin parah? Aku segera menoleh, tetapi Ayah malah berkata tidak apa-apa. Setelah beberapa menit mereda, Ayah menyuruhku untuk bergegas tidur karena besok aku harus sekolah.
Entahlah. Aku sepertinya tidak suka sekolah, bukan pelajarannya, melainkan karena teman-teman yang seperti tidak peduli terhadapku, terutama Marcus. Usai pelajaran olahraga di lapangan, Marcus mencari gara-gara lagi. Ia menyenggolkan badannya ke badanku, lalu berkata yang sangat menyakitkan, "Apa Ayahmu sudah mati, Galang?" Seperti penyakit, berita tentang Ayah ternyata sudah menyebar ke seluruh sekolah.