"Perkenalkan, saya Bu Irena." Seorang perempuan empat puluh tahunan, berpakaian rapi, berkacamata, bertugas mewawancaraiku di ruang kerjanya.
"Saya sudah baca resumemu. Kamu lulusan hukum dari perguruan tinggi. Pernah bekerja di pusat kebugaran? Resumemu jauh berbeda dari kandidat yang biasa kami cari, tapi ini menarik. Saya yakin kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."
Aku mengangguk. "Ya, Bu. Saya sangat paham dengan bidang saya."
"Menjadi paralegal di sini adalah pijakan awal untuk karier di bidang hukum ke depan. Pendapatan di atas rata-rata, tentu. Tunjangan juga lebih dari cukup. Dan kalau kamu mampu  bekerja dengan baik, kami bisa membantu menyesuaikan dengan gelar sarjanamu. Bahkan, kalau beruntung, mungkin kami bisa memfasilitasimu ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi."
Tiba-tiba, pintu ruang wawancara diketuk. Pintu terbuka. Seorang pria masuk. Ah! Wajah itu. Aku masih ingat jelas. Sial! Dia?
Bu Irena kemudian meminta pria itu untuk mengambil alih evaluasi penilaian lanjutan terhadapku sebab dia memiliki jadwal wawancara lain yang menunggu.
"Hai, saya Baskara," ucap pria itu dengan nada canggung. Tangannya terulur untuk bersalaman. "Ayo, ikuti saya."
Tanpa banyak bicara, aku mengikutinya keluar ruangan. Masih ada jejak amarah yang berdenyut di kepalaku yang harus kutahan.
"Saya akan membawamu ke ruang tunggu. Tapi, sebelumnya, kita ke ruangan saya dulu sebentar?"
Aku menatapnya tajam, tapi akhirnya setuju. Kami berjalan menuju ruangannya.
"Baik, namamu Jamal Safrudin, bukan? Saya tidak tahu kamu yang akan diwawancara hari ini," suaranya datar, bahkan menurun.Â