"Perkenalkan, saya Bu Iren." Seorang perempuan empat puluhan tahun, berpakaian rapi, berkacamata, bertugas mewawancaraiku di ruang kerjanya.
"Saya sudah baca resumemu. Kamu lulusan hukum dari perguruan tinggi bonafit, pernah jadi manajer pemasaran di pusat kebugaran? Resumemu jauh berbeda dari kandidat yang biasa kami cari, tapi ini menarik. Saya yakin kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."
Aku mengangguk. "Ya, Bu. Saya sangat paham dengan bidang saya."
"Menjadi paralegal hukum di sini adalah pijakan awal untuk karier di bidang hukum ke depan. Pendapatan di atas rata-rata, tentu. Tunjangan juga lebih dari cukup. Dan jika kamu mampu bekerja dengan baik, kami bisa membantu menyesuaikan dengan gelar sarjanamu. Bahkan, kalau beruntung, mungkin kami bisa memfasilitasimu ke jenjang yang lebih tinggi."
Tiba-tiba, pintu ruang wawancara diketuk. Pintu terbuka. Seorang pria masuk. Ah! Wajah itu. Aku masih ingat jelas. Sial, dia!
Bu Iren kemudian meminta pria itu untuk mengambil alih evaluasi penilaian lanjutan terhadapku sebab dia memiliki jadwal wawancara lain yang menunggu.
"Selamat siang, saya Edward," ucap pria itu dengan nada canggung. Tangannya terulur untuk bersalaman. "Ayo, ikuti saya."
Tanpa banyak bicara, aku mengikutinya keluar ruangan. Masih ada jejak amarah yang berdenyut di kepalaku yang harus kutahan.
"Saya akan membawamu ke ruang tunggu. Tapi, sebelumnya, kita ke ruangan saya dulu sebentar?"
Aku menatapnya tajam, tapi akhirnya setuju. Kami berjalan menuju ruangannya.
"Baik, namamu Baskara, bukan? Saya tidak tahu kamulah yang akan diwawancara hari ini." Suaranya datar, bahkan menurun. "Saya cuma mau minta maaf, tentang malam kemarin. Saya yakin kamu masih ingat wajah saya. Saya mabuk di pesta bujangan teman. Dan saya, saya sangat, sangat minta maaf kalau ada hal yang saya katakan atau lakukan yang tidak pantas."