Malam, aku kembali ke klub kebugaran, menjalani rutinitas yang sudah begitu akrab. Setelah para pengunjung selesai dengan aktivitas mereka, aku mulai merapikan alat-alat kebugaran, membersihkan lantai yang basah oleh keringat, melap setiap fasilitas yang digunakan hingga bersih, lalu bersiap untuk pulang.
Langkahku berat menuju rental internet yang masih terbuka. Ada perasaan harap-harap cemas saat aku duduk di depan layar monitor. Aku membuka email, mencari secercah kabar baik tentang pekerjaan baru.
Alih-alih baik, sebuah email terasa menghujam jantungku seketika: "Kami menghargai potensi Anda, tetapi kami memilih kandidat dengan pengalaman lebih banyak. Namun, tidak apa-apa, lain kali kami akan mempertimbangkan Anda kembali."
Apa? Serius? Bagaimana bisa mereka bicara tentang pengalaman, sementara aku justru mencari pengalaman itu? Paradoks! Gila, ini benar-benar gila!
Malam demi malam, aku terseret kembali menjadi penjaga di depan klub kebugaran. Orang-orang silih berganti menyerahkan kartu identitas, sementara aku harus menentukan apakah mereka layak masuk atau tidak. Dari kejauhan, kulihat tiga pria berjalan goyah, seperti kapal yang diterpa badai. Jas dan dasi yang mereka kenakan terlihat acak-acakan. Begitu mereka mendekat, aroma bir tercium tajam. Salah satu dari mereka menyodorkan kartu identitas dengan gaya angkuh.
"Maaf. Tuan-tuan melanggar aturan berpakaian. Ini klub kebugaran, bukan klub malam," kataku dengan nada tenang namun tegas.
Salah satu dari mereka terkekeh-kekeh sambil memicingkan mata, "Hei, kau pikir kau siapa, hah? Apa kami harus pakai gaun biar bisa masuk?"
Aku menarik napas panjang dan sudah teramat sering menghadapi hal yang seperti ini. "Saya memang tidak membuat aturan, saya cuma menegakkannya. Jadi tolong, Tuan, keluarlah dari antrian."
Pria di hadapanku itu melirik dua temannya, yang langsung tergelak. "Oh, jadi kau bilang kami tidak boleh masuk? Gaji kau di sini pasti tidak seberapa, kan? Bagaimana kalau saya tambahkan sedikit? Biar bisa hidup lebih nyaman."
Pria itu merogoh dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas, dan mengibas-ngibaskannya di depan mukaku. Teman-temannya tertawa semakin keras, seperti tidak memiliki akhlak.
Aku masih menatap wajahnya dengan menekan emosi. "Maaf, saya tidak butuh uang Anda. Saya di sini hanya menjalankan tugas, menjaga aturan."