Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bisikan Itu Tidak Pernah Salah

3 Oktober 2024   21:49 Diperbarui: 7 Oktober 2024   03:47 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sesuatu di balik dinding apartemen ini. Ia selalu bersembunyi. Setiap detik, ia seperti jarum yang menyusup ke dalam kulitku. Tajam, dingin, mengganggu. Setiap kali aku menarik napas, udara rasanya seperti lumpur menebal, lalu membenamkanku. Ia kian dekat, terlalu bising, bahkan berteriak-teriak. Mata yang tidak terlihat sedang mengawasi gerak-gerikku. Ia memantau. Ia menunggu. Aku bisa merasakannya, setiap detik di sini adalah ancaman.

Aku hidup di antara keheningan yang mengancam dan bisikan yang meracau. Ia mengikutiku. Dan, aku tahu sesuatu akan terjadi.

Praank! Gelas di meja dapur terhempas, jatuh. Pecahannya tergeletak berserakan seperti serpihan ingatan yang tidak akan bisa kubawa kembali. Pecahan kaca, berkilauan, tajam, seperti diriku. Aku terpaku memandangnya. Ada sesuatu di sana. Serpihan-serpihan itu seperti berbicara, menyuruhku memungut mereka satu per satu. "Sesuatu yang buruk akan terjadi!" Begitu kata-kata mereka.

Aku berjongkok, tanganku gemetar menjumput pecahan-pecahan itu. Potongan demi potongan, lebih kecil, lebih halus, kusatukan ke dalam kertas. Kertasnya berbisik, "Cepat... cepat, jangan sampai kau terluka!"

Aku memasukkan semuanya ke dalam kantong plastik hitam. Tempat sampah di dapur sudah penuh---seperti selalu penuh, seakan-akan hidupku di sini pun adalah membuang sampah yang tidak pernah habis. Aku langsung membawanya ke luar, ke tempat pembuangan umum di lantai bawah. Beres.

Lalu aku bertemu seseorang. Pak Haris.

"Jauhi dia, jauhi dia, bahaya!" bisikan itu langsung menyerang. Ia seperti semburan yang menusuk-nusuk di telingaku, lalu menusuk-nusuk masuk kepalaku.

Pak Haris berdiri di sana, memegang ponsel. Wajahnya ramah---terlalu ramah. Namun, aku tahu, dia terlibat dalam sesuatu yang besar, sesuatu yang kotor. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tahu, tetapi aku tahu.

Langkahku terhenti saat Pak Haris mendekat. Wajahnya berseri-seri dan tersenyum, senyum yang sangat manis. Semua orang di apartemen ini menganggapku aneh, kecuali dia. Pak Haris selalu baik kepadaku.

"Lama tidak kelihatan, Jono. Sibukkah sekarang?" tanyanya. Suaranya ringan.

Aku berusaha tersenyum, tetapi tenggorokanku terasa mengering.

Pak Haris mengangkat alis. "Bagaimana kalau malam ini kita minum-minum?"

Sekonyong-konyong bisikan itu kembali berdengung, batinku berteriak. "Katakan tidak!" Bisikan itu berkata lagi, "Jangan mau!" Kali ini lebih kuat.

Aku menelan ludah. "Ah, terima kasih, Pak Haris. Tapi saya ... harus cepat-cepat. Ada urusan." Suaraku nyaris tidak keluar.

Pak Haris tertawa, sepertinya menertawakan alasanku itu. "Urusan bisa ditunda sebentar, kan? Yuk, santai dulu. Masa iya, terus-terusan sibuk begitu." Matanya menyelidik. Aku merasa seolah-olah dia tahu lebih banyak daripada yang orang lain tahu. Menakutkan. Aku harus segera pergi.

Aku melangkah menjauh, tetapi terasa berat, seperti ada yang menarikku kembali ke tempat Pak Haris berdiri. Jantungku berdetak lebih cepat. Bisikan itu mulai meracau lagi, lebih bising kali ini, lebih gencar. "Jauhi dia. Dia akan menyakitimu. Dia sudah tahu kalau kau tahu!"

Keesokan harinya, aku menemui dokter Suzanah, psikiaterku. Ruangannya selalu dingin dan putih layaknya kotak susu segar. Dia menatapku dengan tatapan yang sama seperti biasanya---kasihan.

"Kamu terlalu berlebihan, Jono" katanya dengan senyum yang menusuk, menyakitkan. "Kamu harus berhenti mendengarkan bisikan-bisikan itu. Mereka hanya ada di dalam kepalamu. Itu bukan kenyataan."

Aku berteriak, "Ia bukan hanya ada di kepalaku, tapi bisikan itu selalu benar. Ia sudah memperingatkanku sebelumnya, tentang bahaya-bahaya yang akan datang, dan selalu benar. Aku tahu lebih banyak daripada yang orang-orang pikirkan. Mereka tidak mengerti bagaimana rasanya hidup dengan pengetahuan bahwa dunia ini penuh dengan kebohongan!"

Aku menarik napas dalam-dalam, mengingat-ingat apa yang pernah terjadi. Bisikan itu pun muncul sebelum Emily ditemukan mati di kamar apartemennya. Ia memperingatkanku. Beberapa hari sebelum kematian Emily, aku melihat gadis itu pucat dan matanya kosong, seperti hilang. Bisikan itu memberitahuku bahwa ada sesuatu yang gelap di dalam dirinya, sesuatu yang akan membuatnya menyerah. Aku ingin mengingatkannya, tetapi aku terlalu takut. Dan benar saja, dua hari kemudian, Emily ditemukan terbaring di lantai, pergelangan tangannya penuh luka, darahnya mengering di ubin kamar. Mereka sudah tahu, aku sudah tahu.

Lalu ada malam ketika aku hampir menjadi korban tabrak lari. Bisikan itu lagi, kali ini lebih jelas daripada sebelumnya. Aku sedang berjalan pulang, di sepanjang jalan sepi itu, dan tiba-tiba suara itu memenuhi pikiranku. Ia memaksaku berhenti dan hendak menahan kakiku di tempat. Detik berikutnya, sebuah mobil meluncur dengan kecepatan yang tidak wajar, nyaris menyerempet tubuhku. Aku berdiri terpaku, gemetar. Andaikata terus melangkah, aku pasti sudah mati. Bisikan itu menyelamatkanku.

Bahkan di dalam apartemen ini, bahaya selalu mengintai. Ada malam ketika listrik padam, lalu bisikan itu memperingatkan aku agar tidak keluar kamar. Aku mendengar suara-suara langkah dari koridor, seseorang menggedor pintu tetangga. Tidak lama kemudian, aku tahu ada perampokan besar-besaran di gedung ini. Semua yang keluar dari kamar malam itu dijadikan sandera, tapi aku? Aku tetap aman karena ia memberitahuku untuk tetap tinggal.

Aku tahu lebih banyak dari yang orang-orang pikirkan. Bahaya selalu ada, bersembunyi di tempat-tempat yang tidak terlihat oleh orang lain. Bisikan itu selalu benar. Dunia ini penuh kebohongan dan kegelapan yang hanya aku yang bisa melihatnya. Mereka, orang-orang itu, tidak akan pernah mengerti.

"Dengar Jono, yang nyata adalah apa yang ada di depanmu," kata dokter Suzanah lagi, suaranya tenang, mungkin karena sudah lima puluh tahunan, "bukan apa yang kamu dengar di dalam kepalamu," lanjutnya.

Yang nyata? Apa yang dokter tahu tentang kenyataan? Dia tidak hidup dalam dunia yang penuh dengan ancaman tersembunyi, ketika setiap orang bisa menjadi musuh. Aku menatap dokter Suzanah. Apakah aku harus mempercayainya? Mungkin.

Jadi, untuk kali ini, aku mengalah. Aku mencoba mengabaikan bisikan itu. Aku mencoba menjalani hariku tanpa mendengarkannya sebab Pak Haris tidak mungkin jahat. Dia orang baik. Dia hanya pria tua yang kesepian, begitu orang-orang bilang. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa aku mungkin salah, mungkin bisikan-bisikan itu salah kali ini.

Selama beberapa minggu, aku berhasil. Bisikan itu melemah, tenggelam. Aku merasa lebih ringan, lebih bebas. Orang-orang di sekitar apartemen mulai menatapku tanpa rasa takut atau aneh. Aku mulai percaya bahwa mungkin, mungkin saja, aku bisa hidup normal seperti mereka, bukan pengidap Skizotipal lagi.

Namun, ternyata bisikan itu tidak sepenuhnya pergi. Malam itu, ia kembali dan dunia kembali bising.

Keributan di luar jendela apartemenku tiba-tiba memecah keheningan. Sirine polisi, langkah-langkah tergesa-gesa. Aku terbangun dengan perasaan tak menentu, seperti ada sesuatu yang sedang terjadi---sesuatu yang salah. Aku berlari ke jendela, menengok ke luar, ke arah kerumunan yang mulai berkumpul. Polisi? Aku keluar, turun ke lantai bawah. Orang-orang berkerumun, berbisik-bisik.

Di tengah kerumunan itu, aku melihat Pak Haris.

Dia berdiri di sana, terborgol, wajahnya terlihat bingung. Polisi mengapitnya di kedua sisi, menyeretnya ke mobil. Wajah yang tadinya selalu ramah itu kini berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap. Seperti topeng yang terlepas.

Sial! Aku tahu bahwa selama ini aku benar. Bisikan-bisikan itu benar. Ia mencoba memberitahuku, teapi aku yang tidak mau mendengarkannya. Aku menatap Pak Haris, mataku terbuka lebar, jantungku berdetak-detak. Dunia berputar. Salah satu penghuni memberitahuku kalau Pak Haris terlibat dalam sesuatu yang besar. Pencucian uang. Astaga!

Aku menyaksikan bagaimana wajah-wajah orang-orang di sekitar mulai berubah, bagaimana bisikan mereka sekarang berubah menjadi bisikan nyata. Mereka berbicara tentang Pak Haris, tentang penangkapannya, tentang kejahatan yang akhirnya terungkap.

Aku berteriak dalam hati. Benar-benar kesal. "Kenapa aku tidak mendengarkan bisikan-bisikan itu? Kenapa aku jadi tidak percaya mereka?"

Nyatanya, Pak Haris tertangkap. Bisikan itu tidak pernah salah.

---

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun