Aku berusaha tersenyum, tetapi tenggorokanku terasa mengering.
Pak Haris mengangkat alis. "Bagaimana kalau malam ini kita minum-minum?"
Sekonyong-konyong bisikan itu kembali berdengung, batinku berteriak. "Katakan tidak!" Bisikan itu berkata lagi, "Jangan mau!" Kali ini lebih kuat.
Aku menelan ludah. "Ah, terima kasih, Pak Haris. Tapi saya ... harus cepat-cepat. Ada urusan." Suaraku nyaris tidak keluar.
Pak Haris tertawa, sepertinya menertawakan alasanku itu. "Urusan bisa ditunda sebentar, kan? Yuk, santai dulu. Masa iya, terus-terusan sibuk begitu." Matanya menyelidik. Aku merasa seolah-olah dia tahu lebih banyak daripada yang orang lain tahu. Menakutkan. Aku harus segera pergi.
Aku melangkah menjauh, tetapi terasa berat, seperti ada yang menarikku kembali ke tempat Pak Haris berdiri. Jantungku berdetak lebih cepat. Bisikan itu mulai meracau lagi, lebih bising kali ini, lebih gencar. "Jauhi dia. Dia akan menyakitimu. Dia sudah tahu kalau kau tahu!"
Keesokan harinya, aku menemui dokter Suzanah, psikiaterku. Ruangannya selalu dingin dan putih layaknya kotak susu segar. Dia menatapku dengan tatapan yang sama seperti biasanya---kasihan.
"Kamu terlalu berlebihan, Jono" katanya dengan senyum yang menusuk, menyakitkan. "Kamu harus berhenti mendengarkan bisikan-bisikan itu. Mereka hanya ada di dalam kepalamu. Itu bukan kenyataan."
Aku berteriak, "Ia bukan hanya ada di kepalaku, tapi bisikan itu selalu benar. Ia sudah memperingatkanku sebelumnya, tentang bahaya-bahaya yang akan datang, dan selalu benar. Aku tahu lebih banyak daripada yang orang-orang pikirkan. Mereka tidak mengerti bagaimana rasanya hidup dengan pengetahuan bahwa dunia ini penuh dengan kebohongan!"
Aku menarik napas dalam-dalam, mengingat-ingat apa yang pernah terjadi. Bisikan itu pun muncul sebelum Emily ditemukan mati di kamar apartemennya. Ia memperingatkanku. Beberapa hari sebelum kematian Emily, aku melihat gadis itu pucat dan matanya kosong, seperti hilang. Bisikan itu memberitahuku bahwa ada sesuatu yang gelap di dalam dirinya, sesuatu yang akan membuatnya menyerah. Aku ingin mengingatkannya, tetapi aku terlalu takut. Dan benar saja, dua hari kemudian, Emily ditemukan terbaring di lantai, pergelangan tangannya penuh luka, darahnya mengering di ubin kamar. Mereka sudah tahu, aku sudah tahu.
Lalu ada malam ketika aku hampir menjadi korban tabrak lari. Bisikan itu lagi, kali ini lebih jelas daripada sebelumnya. Aku sedang berjalan pulang, di sepanjang jalan sepi itu, dan tiba-tiba suara itu memenuhi pikiranku. Ia memaksaku berhenti dan hendak menahan kakiku di tempat. Detik berikutnya, sebuah mobil meluncur dengan kecepatan yang tidak wajar, nyaris menyerempet tubuhku. Aku berdiri terpaku, gemetar. Andaikata terus melangkah, aku pasti sudah mati. Bisikan itu menyelamatkanku.