"Tentu, kau pun harus tahu. Jadi, saya memang pihak yang mengajukan perceraian ini. Tapi, proses kami ternyata tidak berjalan mulus seperti yang saya harapkan. Terlalu banyak hal yang belum kami selesaikan dengan baik, termasuk perusahaan dan aset-aset yang masih tersangkut namanya, semuanya harus dibagi dengan adil sebab ada jerih payah saya juga di situ. Urusan pembagian ini sebenarnya bukan untuk kepentingan saya, tapi untuk anak-anak saya. Saya juga memikirkan hak mereka. Cuma sayangnya, Bapak jatuh sakit lebih dulu dan sidang perceraian lanjutan terpaksa ditunda sampai Bapak sembuh. Saya tidak tahu kapan Bapak akan sembuh. Apa mungkin ia terlalu tertekan berpisah dengan saya, entahlah, mungkin juga Bapak masih mencintai saya."
"Lalu, apa yang akan Ibu lakukan?" Ambarwati meremas-remas lehernya. Tubuhnya terlihat tegang.
"Saya berubah pikiran. Saya telah mengurus ke kantor pengadilan untuk mencabut gugatan cerai saya. Ini juga atas permintaan anak-anak saya."
"Apa?" Ambarwati tersentak dan sedikit membelalak seakan-akan yang ia dengar adalah berita buruk. "Eh, maksud saya, itu justru lebih baik. Saya juga termasuk yang tidak menginginkan perceraian Ibu sejak awal."
Martinah membuang napas dan menarik salah satu sudut bibirnya. Senyumnya tipis dan dingin.
"Satu-satunya hal yang terpikir oleh saya adalah betapa saya merasa kasihan terhadap anak-anak saya. Saya menghargai keinginan mereka, walaupun mereka telah hidup masing-masing. Tapi, maksud saya, ada saat-saat ketika saya mempertanyakan, apakah saya masih mencintai suami saya atau tidak, tapi tetap saja, saya tidak pernah bisa menjawab pertanyaan apakah saya benar-benar mencintainya, atau karena---" Martina memberi jeda untuk bernapas sejenak. "Saya khawatir dengan apa yang orang lain pikirkan tentang keinginan saya. Nah, menurutmu, apakah langkah saya ini tepat?"
"Langkah mencabut gugatan?" Ambarwati mencoba menyakinkan pertanyaannya yang kemudian dijawabnya sendiri. "Ya, tentu saja, Bu."
Sebenarnya, setelah mengatakan itu, Ambarwati sangat tidak enak hati. Ia tahu kalau dirinya telah bersalah sejak awal, tetapi ia pun tidak ingin semata-mata menjadi pihak yang dipersalahkan dalam rumah tangga Martinah dan Johan. Semua terjadi seperti mengalir; saat Ambarwati bertemu tanpa sengaja dalam acara gathering perusahaan Johan, dan ia menjadi salah satu tim penyelenggaranya. Selanjutnya, pertemuan itu menjadi intens dan menjelaskan bahwa Pak Johan lebih berperan sebagai pelindung Ambarwati, seorang janda yang telah lama ditinggal mati suaminya, tetapi harus kembali bekerja keras. Begitulah. Namun, yang mengejutkannya, Martinah tidak pernah sama sekali melabrak mereka.
Ya, Martinah memang tidak uring-uringan atau mengeluh atau mengamuk atau menangis hebat, seperti reaksi kebanyakan wanita ketika mengetahui pasangannya berkhianat. Ia justru meminta suaminya memperkenalkan perempuan yang membuat perasaan suaminya itu terbelah dua, bahkan di saat usia pernikahan mereka telah menginjak lebih dari tiga puluh tahun---melebihi pernikahan mutiara.
"Seperti apa dia, Mas? Cantikkah?"
Martinah jelas tahu itu pertanyaan bodoh. Laki-laki mana yang mau berselingkuh dengan wanita buruk rupa? Untuk kasus perselingkuhan mungkin saja ada, bisa jadi ada yang jauh lebih menarik perhatian daripada sekadar cantik---harta misalnya---tetapi itu jarang terjadi. Ia mengerti betul, suaminya pasti memilih wanita yang cantik.