Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dari Filosofi ke Tren: Ketika Hedonisme Menjadi Prinsip Hidup Modern

30 Agustus 2024   21:57 Diperbarui: 30 Agustus 2024   21:58 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelaku hedonisme| sumber gambar pixabay

Ungkapan-ungkapan berikut sering kali kita dengar: "Hiduplah seolah-olah ini adalah hari terakhirmu" atau "Nikmati hidupmu sekarang karena kamu hanya hidup sekali. Dan, salah satu istilah paling terkenal adalah "You only live once" (YOLO), yang menjadi sangat populer di kalangan generasi muda.

Istilah "YOLO" dipopulerkan oleh rapper Amerika, Drake, dalam lagunya yang berjudul "The Motto" pada tahun 2011. Dalam lagu tersebut, Drake menyebutkan "You only live once, that's the motto, YOLO." Frasa ini dengan cepat menjadi tren di media sosial dan digunakan secara luas untuk mendorong orang agar hidup tanpa penyesalan dan menikmati momen-momen yang ada.

Namun, konsep ini bukanlah hal baru. Gagasan untuk hidup di saat ini dan tidak terlalu khawatir tentang masa depan telah muncul dalam berbagai bentuk dalam sastra, filsafat, dan budaya pop. Bahkan, ide ini sudah ada sejak abad ke-4 SM, dikenal oleh para filsuf sebagai "Hedonisme."

Mengenal istilah Hedonisme

Hedonisme adalah aliran pemikiran yang pertama kali dikembangkan oleh Aristippos dari Kirene, seorang murid dari filsuf Yunani Kuno terkenal, yaitu Socrates.

Hedonisme mengajarkan bahwa tujuan akhir dari semua tindakan kita dalam hidup adalah mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit. Aristippos percaya bahwa satu-satunya jalan yang baik adalah jalan yang pada akhirnya akan memberikan kesenangan.

Dalam masyarakat saat ini, kita sering diajarkan bahwa cara untuk mencapai kesuksesan adalah dengan berkorban hari ini agar dapat menikmati hari esok, serta menabung untuk menghadapi masa-masa sulit. Setelah lulus kuliah, kita dianjurkan untuk segera mencari pekerjaan dan bekerja keras selama bertahun-tahun, hidup sederhana, dan menabung sebanyak mungkin agar bisa menikmati masa pensiun di kemudian hari.

Aristippos tidak mempercayai konsep kepuasan tertunda. Dia menolak gagasan bahwa seseorang harus menderita di masa kini demi mendapatkan sesuatu yang mungkin menyenangkan di masa depan. Sebaliknya, Aristippos selalu menganjurkan agar orang menikmati apa yang ada dan tersedia saat ini. Alih-alih menyuruh siswa di perguruan tinggi untuk belajar keras demi lulus dan mendapatkan pekerjaan yang baik, Aristippos akan mendorong mereka untuk bersenang-senang sekarang, karena kesenangan tersebutlah yang dapat mereka nikmati saat ini.

Di satu sisi, kita bisa melihat Aristippos sebagai seseorang yang kurang bijaksana dan tidak berpandangan jauh ke depan. Lagipula, jika menyia-nyiakan semua yang kita miliki untuk kesenangan hari ini, kita akan segera kehabisan sumber daya, dan semua kesenangan itu akan berubah menjadi penderitaan. Kita telah melihat akibatnya, mulai dari orang-orang yang kehilangan segalanya karena berfoya-foya hingga mereka yang hidup dalam kemiskinan akibat tindakan mereka sendiri.

Namun, di sisi lain, ada hikmah dalam aliran pemikiran ini. Memang benar bahwa hari esok tidak dijanjikan kepada siapa pun di antara kita, tetapi apa gunanya bekerja keras selama 50 tahun, lalu mengabaikan semua kesenangan saat itu hanya untuk meninggal beberapa tahun sebelum pensiun?

Dan bahkan jika berhasil mencapai masa pensiun, kenyataan yang menyedihkan adalah bahwa 1 dari 4 orang akan mengalami kecacatan pada usia 60 tahun, dan semakin tua usia seseorang, kemungkinan terjadinya hal tersebut meningkat secara drastis.

Mengetahui semua ini, apakah masih bodoh untuk berpikir bahwa mungkin lebih baik kita menikmati kesenangan yang kita miliki saat ini?

Definisi Hedonisme dalam Dua Pandangan Filosofis

Socrates dan filsuf-filsuf lainnya pada masa itu tentu saja menolak gagasan tersebut. Banyak dari mereka yang membenci hedonisme karena menganggap bahwa tujuan akhir dari keberadaan manusia hanyalah mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit, yang bagi mereka terdengar sia-sia.

Pertentangan ini, ditambah dengan kebangkitan agama di Yunani saat itu, menyebabkan gagasan hedonisme yang tergesa-gesa ini mati bersama Aristippos. Bertahun-tahun kemudian, Epicurus, yang dianggap sebagai bapak hedonisme modern, mendefinisikan ulang apa itu hedonisme. Untuk melakukannya, ia harus memulai dengan mendefinisikan ulang satu kata penting---kesenangan.

Bagi Aristippos, kesenangan adalah keadaan ekstase dan kegembiraan---perasaan luar biasa yang kitaa rasakan, misalnya, setelah mencicipi roti seharga ratusan ribu di pagi hari di sebuah hotel berbintang atau setelah berbelanja barang-barang mewah di luar negeri dengan menggunakan jet pribadi, nah, kebanyakan dari kita, inilah cara kita mendefinisikan kesenangan.

Namun, bagi Epicurus, kesenangan memiliki makna yang berbeda. Bagi Epicurus, kesenangan adalah keadaan ketenangan dan kedamaian batin. Alih-alih mendorong orang untuk terus-menerus memanjakan diri dalam kepuasan duniawi, Epicurus percaya bahwa arti sejati dari kesenangan adalah menghilangkan rasa takut akan kematian dan Tuhan. Hanya dengan cara ini seseorang dapat sepenuhnya menikmati apa yang ditawarkan kehidupan.

Sementara Aristippos hanya mendorong orang untuk mengejar kesenangan, Epicurus percaya bahwa semua manusia secara alami melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan kesenangan dan menghindari rasa sakit. Ia tidak menganjurkan perilaku ini, melainkan menganggapnya sebagai kondisi ilmiah kita sebagai manusia.

Untuk mendukung pendapatnya, Epicurus mengajak semua orang untuk melihat bagaimana bayi memandang dunia di sekitar mereka. Meskipun bayi belum sepenuhnya memahami cara kerja dunia, mereka memahami dua hal: ketika sesuatu terasa baik dan ketika sesuatu terasa buruk. Ketika sesuatu terasa menyenangkan, bayi menjadi gembira dan bahagia. Sebaliknya, ketika sesuatu terasa tidak enak, bayi menangis karena ingin rasa sakit itu berhenti dan ingin kembali ke keadaan yang menyenangkan.

Kemudian, mungkin kita bertanya-tanya, jika semua manusia mengejar kesenangan, bagaimana dengan tindakan tanpa pamrih? Apakah perbuatan yang dilakukan semata-mata karena berbudi luhur atau demi kepentingan orang lain, dan bukan diri kita sendiri, adalah salah? Bagaimana kita mendeskripsikannya?

Nah, dalam pemikiran hedonistik, alasan utama seseorang melakukan sesuatu adalah karena hal tersebut membuat mereka merasa heroik, pada akhirnya diproses di otak sebagai perasaan menyenangkan. Pada dasarnya, mereka tetap mengejar kesenangan, meskipun bukan kesenangan yang mungkin kita bayangkan.

Dampak Hedonisme Terhadap Keadilan dan Moralitas

Menurut ajaran hedonistik, ada dua jenis kesenangan: kesenangan yang membahagiakan dan kesenangan yang statis.

Kesenangan yang membahagiakan adalah saat kita sedang dalam proses memuaskan suatu keinginan. Misalnya, saat lapar kita makan, saat haus kita minum, dan saat butuh istirahat kita tidur. Sementara itu, kenikmatan statis adalah ketenangan yang kita rasakan setelah selesai memenuhi kebutuhan tersebut. Pada titik ini, adrenalin telah selesai mengalir melalui pembuluh darah dan kita merasakan kepuasan yang manis. Pada saat ini, kita akan merasakan suatu rasa ketenangan yang terus berlanjut hingga akhirnya digantikan oleh rasa sakit. Namun, menurut Epicurus, tidak ada di antara keduanya. Kesenangan adalah tidak adanya rasa sakit, dan sebaliknya.

Meskipun hedonisme dapat dijelaskan dengan cara yang sederhana, banyak orang masih tidak setuju atau bahkan menolak gagasan tersebut. Hal ini terutama disebabkan oleh satu hal: gagasan bahwa kesenangan adalah satu-satunya sumber nilai intrinsik.

Jika kesenangan benar-benar merupakan satu-satunya nilai intrinsik, lalu bagaimana kita menjelaskan hal-hal seperti menemukan makna dalam hidup, mencapai pencapaian besar, membangun dan memelihara hubungan jangka panjang, menjadi legenda di bidang tertentu, atau bahkan menjalani kehidupan religius dan menjunjung tinggi seperangkat keyakinan moral yang kita hargai?

Penganut hedonisme mungkin berargumen bahwa semua hal ini tidak memiliki nilai dan hanya berharga karena kita menikmatinya. Namun, menjunjung tinggi keyakinan agama tidak selalu menyenangkan. Faktanya, seringkali hal ini membatasi jenis kesenangan yang dapat kita peroleh. Meskipun demikian, bagi banyak orang, kepuasan yang diperoleh dari menjalani keyakinan atau nilai-nilai tersebut lebih berarti daripada kesenangan yang mereka tinggalkan.

Jika kesenangan pribadi dianggap sebagai tujuan utama keberadaan manusia, maka orang-orang yang mengambil keuntungan dari kesalahan dalam masyarakat kita tidak akan pernah melawan ketidakadilan tersebut. Mereka tidak akan memperjuangkan kebaikan bersama jika hal itu berdampak negatif pada mereka.

Setiap hari kita melihat orang-orang yang mengesampingkan keinginan pribadi mereka untuk membantu orang lain. Mereka sering kali dikucilkan oleh keluarga dan ditolak oleh kelompok mereka karena memilih untuk bersuara dan memperjuangkan kebenaran, meskipun isu-isu tersebut tidak berdampak langsung pada mereka.

Jika semua orang hanya mengejar kesenangan pribadi, hal ini tidak akan pernah terjadi. Kita akan terlalu sibuk menikmati manfaat dari masyarakat yang rusak dan tidak akan merasa perlu untuk mencoba mengubahnya demi kebaikan orang lain.

Refleksi pada Pilihan Hedonisme

Batu sandungan besar lainnya yang dihadapi kaum hedonis dalam memperdebatkan keyakinan mereka adalah nilai dari kenyataan. Jika kesenangan adalah tujuan akhir, maka tidak seharusnya menjadi masalah apakah kesenangan tersebut nyata atau khayalan, bukan? Jika kita mengatakan bahwa pada dasarnya orang selalu mengejar hal-hal yang menyenangkan, maka jika ada dua pilihan antara kesenangan tanpa batas dan sesuatu yang lain, mereka seharusnya tidak akan memilih pilihan lainnya, bukan?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, filsuf Robert Nozick, seorang filsuf Amerika yang dikenal terutama karena karyanya dalam teori politik dan etika. mengemukakan eksperimen pemikiran. Dia memberikan dua pilihan kepada orang-orang: terhubung ke mesin pemberi kesenangan selama sisa hidup mereka, atau menjalani kenyataan saat ini dengan penderitaan yang ada di dunia kita. Hasilnya, orang selalu memilih kenyataan ini. Karena pada akhirnya, menjalani hidup yang tidak nyata dianggap sebagai percuma dan tidak berarti. Bahkan dengan pilihan kesenangan yang paling menyenangkan di dunia, orang lebih memilih rasa sakit yang nyata, apa pun artinya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, kenangan terbaik adalah kenangan yang Anda ingat dengan senang hati dan sedih.

Contoh dari hal ini adalah Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat , yang setelah 20 tahun meninggalkan masa kecilnya, kembali hanya untuk melihat tempat tersebut hancur. Dengan berlinang, dia mungkin berkata, "Rumah masa kecilku, aku melihatnya lagi dan merasa sedih dengan pemandangan itu. Meskipun ingatan mengaburkan otakku, kesenangan ada di dalamnya juga."

Perpaduan indah antara kesenangan dan kesakitan adalah sesuatu yang tidak diperhitungkan oleh pandangan hedonistik terhadap dunia. Ketika lulus sekolah, kita mungkin bersemangat dengan petualangan meninggalkan rumah untuk pertama kalinya dan akhirnya sendirian, dapat menikmati apa yang ditawarkan dunia.

Menikmati Hedonisme Tanpa Terjerumus

Hedonisme sering tidak disukai dalam masyarakat modern karena membuka pintu jebakan yang mudah membuat kita terjerumus. Kesenangan adalah keinginan yang tidak pernah terpuaskan dan merupakan pengejaran tanpa akhir. Jika kesenangan menjadi alasan utama keberadaan kita, maka akan sangat sulit untuk mengendalikannya. Inilah bagaimana banyak orang terjebak dalam kecanduan. Apa yang dimulai sebagai kesenangan sesaat, tanpa disadari, bisa berubah menjadi rasa haus yang tidak terpadamkan dan tak terkendali terhadap hal-hal tersebut---sebuah jebakan yang sangat sulit dihilangkan dan membuat banyak orang terperangkap selama sisa hidup mereka.

Namun, bukan berarti kita tidak bisa belajar dari prinsip-prinsip hedonistik. Meskipun kita mungkin tidak ingin memikirkannya, memang benar bahwa hari esok tidak dijanjikan. Oleh karena itu, sebaiknya kita manfaatkan hari ini sebaik-baiknya. Membuat keputusan sadar untuk menikmati kesenangan kecil sehari-hari dapat membantu kita menjalani hidup yang lebih bahagia. Jika kita menghadapi situasi yang kurang menyenangkan, jangan terburu-buru berkecil hati---nikmatilah dengan baik.

Kita tidak perlu menunggu sampai pensiun untuk mulai menuai hasil kerja kita sendiri. Meskipun mencari kesenangan mungkin bukan tujuan akhir hidup manusia, usaha untuk menikmatinya tentu saja merupakan upaya yang bermanfaat.

---

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun