Tepuk tangan meriah bergema di seluruh alun-alun. Mata Saipudin menyapu kerumunan. Betapa wajah-wajah tampak kagum kepadanya. Para pejabat di panggung pun menyalaminya penuh hormat. Mereka memuji-muji keberhasilan Saipudin dalam memimpin kota kendati semua itu palsu dan berpura-pura.
Saipudin pun hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Ia menyadari betul sungguh munafiknya para petinggi itu. Dalam hati, Saipudin tahulah bahwa pujian-pujian itu hanyalah cara mereka mendekati kekuasaan dan mengamankan posisi masing-masing, tetapi ia tidak terlalu peduli, selama mereka semua tetap berada dalam kendalinya.
Dua minggu perayaan berlalu. Malam-malam, Saipudin mengunci diri di ruang kerjanya. Lampu di ruangan itu sengaja ia nyalakan redup, hanya lampu kerjanya yang terang. Ia duduk di belakang meja kayu mahoni sambil meneliti setiap dokumen rahasia dan laporan yang berserak di atas meja. Tangannya bergerak cekatan meneliti setiap lembaran. Ia sadar, dalam beberapa waktu, semua yang ada di hadapannya ini akan berakhir. Sesuatu yang telah ia jalankan sangat hati-hati.
Pikirannya melayang ke saat-saat semuanya dimulai. Dari keputusan kecil yang kelihatan sepele untuk memanfaatkan posisi yang ia miliki, hingga pengembangan jaringan yang makin luas, semua itu bagian dari rencana yang dirancang cermat. Setiap tindakan merupakan bagian strategi besar. Sebuah permainan kekuasaan yang harus dimainkan dengan kebijakan---setidaknya terasa benar bagi dirinya sendiri.
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Saipudin tersentak. Ia membiarkan pintu itu terbuka perlahan. Lagi-lagi, muncul asisten muda.
"Izin, Pak, ada tamu ingin bertemu Bapak."
"Ya, persilakan masuk!"
Seorang pria paruh baya masuk. Ekspresinya serius. Ia Sigit Wardana, seorang jaksa yang dulunya teman baik Saipudin sebelum keduanya masuk ke dunia politik. Tanpa basa-basi, Sigit meletakkan sebuah map di atas meja. Saipudin memandang map itu. Alisnya terangkat.
"Apa ini, Sigit?"
"Ini bukti-bukti korupsi dirimu terlibat. Aku sudah berusaha menutupinya, tapi sekarang sudah tidak bisa lagi."
Saipudin terdiam sejenak, lalu tertawa kecil.