Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Joharis dan Peti Es

17 Agustus 2024   16:42 Diperbarui: 17 Agustus 2024   16:46 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mimpi Joharis dan Peti Es | sumber gambar pixabay.com

Beberapa malam terakhir, mimpinya selalu sama. Ia terjebak di suatu ruangan dan menemukan seorang wanita muda meringkuk di dalam peti es, seperti membeku, berbaju tipis menutupi tubuh, memegang benda kecil yang tidak bisa dipastikan benda apa itu. Selajur, wajahnya berubah kaku dan napasnya berhenti saat wanita itu menatapnya dengan sorot memohon dan berucap, "Tolong!"

Setelah itu, ia terbangun

Tadinya, ia penasaran, lama-lama terganggu juga karena mimpi itu menghalanginya untuk benar-benar beristirahat dan mendapatkan energi saat tidur. Ia kemudian tidak lagi mencari tahu maknanya dan berpikir lebih baik mengabaikannya saja.

Ia lebih memikirkan hari-hari suntuk akibat satu bulan belakangan menjadi pengangguran. Perusahaan tempatnya bekerja---sebelumnya---telah beralih ke jasa outsourcing. Mau tidak mau ia dan ratusan karyawan lainnya terkena dampak gelombang massal pemutusan kerja sepihak.

Pendemo-pendemo turun menyuarakan keberatan atas Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap mengabaikan kesejahteraan mereka, tetapi sia-sia belaka, tidak mengubah apa pun. Penawaran pelatihan online oleh pihak perusahaan untuk para korban PHK pun tidak signifikan. Selama perusahaan masih memilih jasa outsourcing, praktik perbudakan modern akan terus berlanjut, merampas hak-hak pekerja, bahkan merampas masa depan mereka.

Malam itu ia duduk di kursi panjang di depan televisi, memeriksa ponselnya kalau-kalau ada surel jawaban dari permohonan lamaran pekerjaan baru. Namun, belum ada.

Tidak seperti biasa, jarinya merasakan sesuatu yang kasar di bagian belakang ponsel. Ia memutarnya dan melihat goresan kecil huruf "J" dan "A" di sudut kiri atas, inisial namanya dan mantan kekasihnya: Joharis dan Alena.

Ia ingat betul, Alena lah yang membuat tanda itu lebih dari setahun lalu. Mereka telah melewati masa-masa indah sejak itu hingga segalanya menjadi jauh dan kemudian berakhir.

Ia tidak menyangka, lima hari kehilangan pekerjaan, Alena memutuskan percintaan secara tiba-tiba dengan alasan bahwa mantannya itu telah menyesal berselingkuh dari kekasih lama saat menerima cinta darinya, sebab menurut Alena, ia ternyata tidak lebih baik dari si kekasih lama.

Dua kejadian itu bagai palu godam menghantam bertubi-tubi. Getir dan sakit. Ia tidak siap mengelaknya.

Hari sudah larut. Ia ingin tetap terjaga, apalagi sudah tidak ada tugas bangun di pagi hari. Saluran televisi yang menayangkan film thriller tentang pembunuhan sadis menjadi pilihannya. Ia lantas menontonnya dan bersantai.

Baru separuh jalan, matanya terasa berat saat mendengarkan suara-suara bising di kepala. Entah mengapa, sakit kepalanya timbul, tetapi ia tidak ingin berpikir bahwa dirinya telah tertidur.

Tiba-tiba ia berseru lantang dan otot matanya mengencang ketika tengah menyadari berada di depan kemudi mobil butut yang menabrak pohon besar di pinggir jalan. Ia tidak mengetahui mengapa bisa sampai di sana, padahal ingatan terakhirnya jelas-jelas duduk di depan televisi.

Ia segera memutar kunci mobil, tetapi mesin tidak mengeluarkan bunyi. Hampir dua puluh menit mencobanya, tidak pula berhasil.

Dirogohnya saku celana bermaksud mengambil ponsel agar bisa menghubungi bantuan seseorang. Ponselnya tidak ada!

Ia kemudian mencarinya di dashboard dengan seksama, tetap tidak ditemukan. Ia yakin sekali tidak pernah meninggalkan rumah tanpa ponsel. Kembali ia memeriksa saku celana, anehnya, malah menemukan selembar nota kecil.

Matanya melebar ketika mengenali tulisan tangannya sendiri di atas kertas itu. Heran sekali, ia tidak ingat kapan pernah menulisnya.

Temukan batu besar di kiri jalan, jembatan, dan rumah!

Petunjuk di kertas itu membingungkan, tetapi ia tahu harus bergegas mencari pertolongan.

Di luar mobil, angin bertiup kencang, langit pun menjatuhkan rintik. Ia mengamati sekeliling, sepi, lalu mencoba mencari tahu arah mana yang hendak dituju.

Ia berjalan dan berjalan. Ketika berhasil menemukan batu besar di sisi kiri jalan, hatinya bersorak. Setelah yakin batu itulah yang dimaksud, ia kembali berjalan.

Tidak lama, jembatan terlihat di atas sungai. Begitu mendekat, telinganya tidak dapat mendengar aliran air di bawah jembatan yang tidak terlalu panjang. Ia melongo lebih cermat, ternyata itu jurang yang dalam.

Kepalanya pusing, mungkin karena bermasalah dengan ketinggian. Bagaimanapun, ia harus menyeberang dan berusaha menjaga keseimbangan dalam keadaan permukaan mulai basah.

Perlahan-lahan ia meniti jembatan sampai ke ujung sambil mengutuk siapa yang telah membangun jembatan tidak sempurna itu---jangan-jangan ada manipulasi dana. Jembatan itu terlihat tidak aman. Tidak ada pegangan tangan atau bahkan tepian, kecuali dua tiang kecil di setiap sisi. Kondisi itu jelas berbahaya sekali bagi pelintas.

Udara dingin menekan tulangnya selama perjalanan. Sementara, rasa pusing tidak membantunya berpikir jernih ketika mempertanyakan lagi mengapa ia sampai terjebak di wilayah asing. Sedikit lega, pusingnya memudar setelah ia terus berjalan dan melihat sebuah rumah di kejauhan.

Hawa dingin menggigit wajahnya saat angin bertiup di sekeliling. Kakinya bergegas maju sampai di halaman depan rumah. Bekas roda tercetak jelas di tanah yang sebagian tertutup genangan air, tetapi tidak terlihat olehnya mobil di sekitar.

Perasaan was-was mulai menyergapnya karena khawatir tidak ada orang di rumah itu yang akan membukakan pintu dan membiarkannya masuk. Namun, rumah itu tampak seperti pondok harapan setelah keletihan yang dilaluinya. Ia pun berjalan mendekat untuk mengetuk.

Tiga kali ketukan, tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, tidak ada jawaban lagi.

Refleks tangannya memutar pegangan pintu. Keheranannya muncul karena pintu ternyata tidak terkunci.

Ia melangkah ke dalam dan menutup pintu sambil membayangkan jika ada seseorang di rumah, ia akan menjelaskan situasinya dengan tenang, berharap itu bisa menolong.

"Permisi! Maaf, mobil saya mogok di jalan. Ada orangkah di sini?"

Lagi-lagi tidak ada jawaban atau tanda-tanda seseorang di rumah.

Ia melewati ambang pintu dan melihat saklar lampu, lalu menekannya untuk menerangi tempat itu. Beberapa saat kemudian, ia memeriksa tiap-tiap ruangan.

Rumah itu bukanlah tempat yang besar. Satu lantai terdiri dari ruang tamu, ruang tidur, dapur, serta kamar mandi. Perabotan di dalam rumah pun cukup sederhana. Meja dan kursi makan di dapur, sofa dan televisi di ruang tamu. Satu hal yang membuatnya mengumpat dengan suara keras adalah tidak ada telepon di rumah itu. Sial!

Jam di dinding memberitahukan bahwa hari sudah hampir pukul enam sore. Di luar sudah mulai gelap. Ia pun mulai mempertimbangkan pilihannya. Sepertinya bukan ide bagus untuk kembali ke mobil meskipun besar kemungkinan akan bertemu siapa saja di luar.

Ia tidak ingin mengambil risiko karena merasa lebih aman di rumah kecil itu. Pilihan yang tepat adalah tetap di sana, menunggu pemilik tempat itu kembali, dan mengira-ngira bahwasanya semua akan berakhir dengan sendirinya.

Sofa sangat empuk untuknya merebahkan badan dan meletakkan kaki ke sandaran tangan. Ia mengambil remote di meja di sebelahnya, lalu menyalakan televisi. Saat meletakkan remote kembali, pandangannya terpaku pada selembar kertas kecil di meja yang sama. Di kertas kecil itu, sebuah kalimat terbaca: Kamu tidak dapat mendengar apa pun ketika matamu berdarah!

Tengkuknya merinding, ia bergidik. Mengapa ada catatan di sana? Siapa yang menulisnya? Apa maksudnya? 

Vertigonya mendadak kambuh. Seluruh tubuhnya seolah-olah berteriak-teriak meminta hak untuk beristirahat. Ia menyerah. Lambat laun kesadarannya pun hilang.

Sinar matahari masuk dari jendela. Bangun-bangun, ia menyadari televisi telah mati sendiri. Ketika melihat sekeliling, alisnya terangkat tinggi. "Mengapa saya masih di dalam rumah misterius ini? Apa yang terjadi? Nyatakah ini? Ataukah saya telah gila?"

Ia mencoba mengingat-ingat mimpinya tadi malam, lalu tersenyum, karena seingatnya, tidak bermimpi apa-apa.

Bunyi perut keroncongan menyebabkannya berjalan ke dapur. Ia membuka lemari es, tetapi tidak menjumpai apa-apa di dalamnya, kecuali sebuah botol kaca berisi cairan merah. Tangannya mengambil botol itu dan melepaskan tutupnya.

Anyir cairan menyengat saraf penciumannya. Ia tidak bisa menjelaskan bau tajam itu, tetapi entah mengapa seperti begitu familiar seakan-akan pernah mencium aroma yang sama. Cairan itu tidak layak untuk diminum. Ia kembalikan wadah itu dan langsung menutup pintu lemari es.

Pandangannya lalu beralih ke freezer di bagian atas. Ia mengira mungkin ada sesuatu lainnya yang bisa dimakan. Ketika dibuka, pintunya macet. Sekuat tenaga ditariknya lagi pintu freezer hingga kemudian terbuka penuh.

Sontak matanya mendelik dan mulutnya menganga lebar saat melihat pemandangan mengerikan dari dalam freezer.

Alena meringkuk berposisi seperti janin, mati mengeras dengan ekspresi putus asa. Jasad Alena sedang memegang ponsel dengan sampul belakang menghadap ke depan sehingga terlihat jelas goresan "J" dan "A".

Tenggorokannya tercekat.

Terlihat catatan di dinding bagian dalam freezer: Sekarang kamu tahu bagaimana rasanya dikhianati dan dibohongi. Kuharap ini sepadan!

Dunia cerah dan tenang. Namun bagi Joharis, dunia sedang terbakar.

---

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun