Ia melewati ambang pintu dan melihat saklar lampu, lalu menekannya untuk menerangi tempat itu. Beberapa saat kemudian, ia memeriksa tiap-tiap ruangan.
Rumah itu bukanlah tempat yang besar. Satu lantai terdiri dari ruang tamu, ruang tidur, dapur, serta kamar mandi. Perabotan di dalam rumah pun cukup sederhana. Meja dan kursi makan di dapur, sofa dan televisi di ruang tamu. Satu hal yang membuatnya mengumpat dengan suara keras adalah tidak ada telepon di rumah itu. Sial!
Jam di dinding memberitahukan bahwa hari sudah hampir pukul enam sore. Di luar sudah mulai gelap. Ia pun mulai mempertimbangkan pilihannya. Sepertinya bukan ide bagus untuk kembali ke mobil meskipun besar kemungkinan akan bertemu siapa saja di luar.
Ia tidak ingin mengambil risiko karena merasa lebih aman di rumah kecil itu. Pilihan yang tepat adalah tetap di sana, menunggu pemilik tempat itu kembali, dan mengira-ngira bahwasanya semua akan berakhir dengan sendirinya.
Sofa sangat empuk untuknya merebahkan badan dan meletakkan kaki ke sandaran tangan. Ia mengambil remote di meja di sebelahnya, lalu menyalakan televisi. Saat meletakkan remote kembali, pandangannya terpaku pada selembar kertas kecil di meja yang sama. Di kertas kecil itu, sebuah kalimat terbaca: Kamu tidak dapat mendengar apa pun ketika matamu berdarah!
Tengkuknya merinding, ia bergidik. Mengapa ada catatan di sana? Siapa yang menulisnya? Apa maksudnya?Â
Vertigonya mendadak kambuh. Seluruh tubuhnya seolah-olah berteriak-teriak meminta hak untuk beristirahat. Ia menyerah. Lambat laun kesadarannya pun hilang.
Sinar matahari masuk dari jendela. Bangun-bangun, ia menyadari televisi telah mati sendiri. Ketika melihat sekeliling, alisnya terangkat tinggi. "Mengapa saya masih di dalam rumah misterius ini? Apa yang terjadi? Nyatakah ini? Ataukah saya telah gila?"
Ia mencoba mengingat-ingat mimpinya tadi malam, lalu tersenyum, karena seingatnya, tidak bermimpi apa-apa.
Bunyi perut keroncongan menyebabkannya berjalan ke dapur. Ia membuka lemari es, tetapi tidak menjumpai apa-apa di dalamnya, kecuali sebuah botol kaca berisi cairan merah. Tangannya mengambil botol itu dan melepaskan tutupnya.
Anyir cairan menyengat saraf penciumannya. Ia tidak bisa menjelaskan bau tajam itu, tetapi entah mengapa seperti begitu familiar seakan-akan pernah mencium aroma yang sama. Cairan itu tidak layak untuk diminum. Ia kembalikan wadah itu dan langsung menutup pintu lemari es.