Teleponmu yang tiba-tiba itu terdengar aneh. Kamu bilang ingin menemuiku untuk sekadar berkunjung. Satu alasan yang terdengar seperti dibuat-buat untuk menutupi alasan yang sebenarnya.
Bayangkan, setelah sekian lama, bahkan setelah bertahun-tahun hubungan kita selesai dan ketika aku sedang berusaha untuk tidak mengais-ngais ingatan tentang cerita itu, kamu kembali muncul, menghubungiku dengan nomor yang tidak pernah berganti.Â
Meski kenyataannya, melupakanmu secara sempurna amatlah sulit, apalagi terkait dengan keputusanku membiarkanmu pergi. Namun, aku tidak mau pradugamu berkelana, mengira hidupku pasti berantakan setelahnya.
Jadi, Sabtu pagi, waktu yang seharusnya tepat untukku menyapu kuas di ruangan yang kujadikan museum kecil, terpaksa harus kukorbankan untuk merapikan rumah agar kamu menganggap kebiasaanku memang normalnya demikian. Ya, sebatas itu sajalah, bukan sesuatu yang istimewa juga untuk menyambutmu karena memang aku tidak ingin terkesan mengistimewakanmu lagi.
***Â
Berulang-ulang kuusap cincin emas yang melingkari jari manis di tangan kananku, sambil terus menimbang-nimbang, apakah menemuimu hari ini adalah tepat?
Sekarang, aku di depan rumahmu dari dalam mobil berjarak sekitar lima puluh meter---dan ini sungguh membuat hatiku berkecamuk. Beberapa kali aku bahkan menarik dan mengembuskan napas panjang hanya untuk membuat stabil detak jantungku.
Sebelum keluar dari mobil, sengaja aku melihat kembali selembar foto yang tersimpan di dalam dashboard, bahwa kenangan itu masih ada, kenangan aku dan kamu saat terikat janji bersama, sepuluh tahun lalu. Rasa-rasanya, saat itu tidak pernah muncul satu pikiran pun untuk berpisah dan tidak pernah juga terpikir olehku untuk berkhianat. Hingga akhirnya, waktu telah berbicara tentang peristiwa ketika kita harus menyudahi semuanya---sangat menyesakkan.
Aku mengetuk rumahmu tiga kali dengan tekanan berirama. Barangkali ketukanku cukup bisa terdengar karena sepertinya tidak ada kebisingan lain di sini yang bisa menghalangi bunyinya sampai ke dalam.
Pintu terbuka. Kemunculanmu seolah-olah mendorong gerakan kakiku mundur satu langkah. Kalau saja aku tidak berusaha menjaga keseimbangan, mungkin tubuhku sudah terjatuh---dan itu pasti akan terlihat konyol di matamu.
***Â
"Hai! Aku sudah menunggumu, Suzzy, masuklah!"Â
Aku berusaha setenang mungkin kendati mencoba menghalau kecanggunganku. Semoga kamu tidak melihatku begitu, walaupun kamu sendiri terlihat seperti orang yang salah tingkah.
Aku lalu mengajakmu ke ruang pantry, mempersilakanmu duduk, sementara aku menyeduh minuman hangat.
"Gula?" tawarku.
"Oh, aku sudah tidak lagi mengonsumsinya beberapa waktu lalu."
"Baguslah, tubuhmu lebih langsing sekarang."
Dua cangkir teh kuletakkan di meja tempat aku dan kamu duduk berhadapan. Keheningan sesaat hadir, lalu dipecahkan oleh suara seruput dari mulutmu yang seolah-olah hendak melunturkan warna bibirmu.Â
"Tehmu selalu enak," katamu.
"Karena aku ingin membuat teh yang nikmat, setidaknya untuk diriku sendiri."
Kamu terdiam, sepertinya kamu menelan ludah. Lantas, kamu melihat-lihat dinding ruangan di sebelah kiri, tempat foto-foto lampau kita terpajang. Oh, aku lupa, seharusnya tadi kuturunkan dulu supaya tidak teramat kentara bahwa aku tidak pernah menyingkirkan bingkai-bingkai nostalgia kita.
Aku kemudian mencari-cari alasan karena rona merah sepertinya sudah terlanjur menyemukan wajahku. "Tidak ada yang perlu aku sembunyikan meski sudah berlalu,"Â
Kamu terkesiap atas pernyataanku dan aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu tentang masa lalu kita itu. Ketika kita sama-sama menyeruput teh, mataku jeli menyoroti jari manis di tangan kananmu. Cincin pernikahanmu melingkar di sana.
***Â
"Haris tahu kamu mau datang ke sini?" tanyamu.
"Tidak. Kurasa dia tidak perlu tahu."
"Kamu selalu saja menyembunyikan sesuatu dari pasanganmu."
"Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun. Ini bukan persoalan penting, kan?"
"Pada akhirnya semua akan jadi persoalan penting."
Kamu mungkin hendak menamparku dengan kata-kata itu. Aku tahu bahwa menurutmu akulah yang telah berbuat kesalahan terhadap pernikahan kita dulu. Aku terlalu egois dengan memikirkan kemajuan karierku tanpa memperhatikan sikapmu yang insecure terhadap pekerjaanmu. Kamu seniman, pelukis, di samping bekerja di kantor sebagai "art director". Hanya, kita tidak sehaluan tentang ide-ide menjalani biduk rumah tangga. Kamu terlalu santai, sementara aku ingin sesuatu itu terjadi secepatnya. Hal ini sering kali menjadi perdebatan kita dan berujung pada pertengkaran.
Pada saat yang tidak tepat, Haris datang. Seharusnya kita masih bisa menyelamatkan kapal agar tidak karam. Namun, agitasi Haris sebagai seseorang yang menurutku sempurna, ternyata terus-menerus menekanku untuk mengakhiri pernikahan kita. Kamu lalu melepasku untuk Haris, tanpa berupaya menahanku, dan itu menghadirkan kekecewaan juga terhadapku.
***Â
"Bagaimana dengan hidupmu, Grey? Apakah sudah ada perempuan yang mendekat?" Tiba-tiba kamu bertanya tentang kesendirianku.Â
Meski jengah, kujawab saja, "Ya, sekali, tapi tidak ada komitmen apa pun dari kami."
"Oh, mengapa?" Mungkin kamu penasaran.
"Aku bukan tipikal seseorang yang terburu-buru memulai hubungan baru."
Kamu menunduk. Sepertinya sindiranku berhasil, tetapi aku tidak ingin membuatmu makin menekuk.
"Oya, berapa anak yang kalian punya sekarang?" Aku balik bertanya, mengecoh keadaan.
"Belum ada. Maksudku, mungkin kami akan merencanakannya kembali."
"Program?"
"Mungkin, tapi Haris kelihatannya tidak ingin menuntutku lagi."
"Setelah tujuh tahun?"
*** Â
"Maafkan aku karena menghubungimu lagi, Grey."Â
"Tidak masalah, tapi tolong katakan saja rencanamu menemuiku hari ini. Sesungguhnya, ada apa, Suzzy?"
"Kamu keberatan?"
"Bukan begitu. Maksudku, siapa yang memberitahumu kalau aku tinggal di sini sekarang?
"Tidak seorang pun. Aku mencari informasinya sendiri."Â
Kamu tertawa kecil mengiringi pertanyaanmu, "Mengapa?"
"A---aku tidak tahu. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu."Â
"Aku baik-baik saja."
"Baguslah. Aku senang kamu tinggal di rumah yang dulu kita bilang akan kita beli bersama."
"Itu sudah lama sekali. Dua tahun setelah kita menikah."Â
"Rumah ini bagus, Grey. Kamu ternyata benar-benar membeli tempat ini."
"Ya, walaupun butuh beberapa waktu bagiku, tidak seperti kamu yang jauh lebih sukses."
Aku mengembuskan napas pelan-pelan. Kamu masih saja insecure.
***Â
"Ketika kamu melihatku, aku berpikir, mungkin kamu tahu, Grey."Â
"Tidak. Aku benar-benar tidak tahu."
"Mungkin kamu masih .... Grey, maksudku, pernahkah kamu memikirkanku?"
"Ya."
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Hari seperti hari ini."Â
"Lalu kenapa kamu tidak pernah mencoba menghubungiku?"
"Karena kamu memintaku untuk tidak melakukannya, bukan?"
"Apa salahnya jika kamu melakukannya?"
"Aku bukanlah orang yang suka mengganggu rumah tangga seseorang. Tidak seperti ...."
"Haris? Katakan saja, aku tahu dia begitu."
Kurasa aku mulai mencium aroma kurang menyenangkan darimu. Tentang perubahan raut mukamu, mungkin itu adalah pertanda bahwa memang sudah ada yang berubah terkait hubunganmu dengan Haris, mungkin.
"Apakah sekarang kita sudah terlambat menjalin hubungan kembali?"
Aku terhenyak, tidak menyangka kalau dugaanku benar, tetapi aku tidak ingin membiarkanmu memegang kendali terhadapku lagi. Kurasa, biarkan kisah percintaan kita hanya sebagai pengalaman masa lalu, tetapi ... haruskah aku membohongimu?
"Grey ...." Â
Matamu mendadak sayu seperti hendak menginginkan kepastian jawabanku.
"Maaf, Suzzy. Aku kira demikian,"Â
"Sesakit itukah perasaanmu, Grey?"
"Aku tidak perlu mengatakannya, kan?"
"Tidak apa-apa. Aku memakluminya. Sekali lagi, maafkan aku, Grey."Â
Kamu pamit, menyudahi obrolan kita. Teh di cangkirmu juga sudah habis. Aku mengutuk diriku sendiri, mengapa harus menjawab senaif itu. Oh! Mungkinkah suatu hari nanti cangkir teh yang kosong bisa kuisi kembali?
***Â
Aku kembali ke mobil. Rasanya langit benar-benar runtuh. Dinding hatimu sudah teramat keras, sementara sekarang akulah yang rapuh.Â
Cincin di  tanganku seharusnya tadi tidak kupasang karena aku hanya berpura-pura masih bersama Haris, padahal pernikahan keduaku hanya bertahan empat tahun dan Haris sudah menemukan tambatan hati baru.Â
Barangkali, ini yang dinamakan kutukan pernikahan, saat aku meninggalkanmu hanya untuk sebuah ego. Sekarang, perasaanku seperti cangkir teh kosong yang mungkin tidak pernah terisi lagi.
Aku membenci diriku. Â
***Â
-Shyants Eleftheria, Life is A Journey-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H