Tubuh Haris jatuh tersungkur, pelipisnya berdarah dan dia tidak bergerak. Aku tidak peduli apakah dia mati atau hanya pingsan---itu bukan hal yang penting. Satu-satunya yang kupikirkan tadi malam, bagaimana aku menyelamatkan diri dari kepanikan yang luar biasa pada peristiwa mengenaskan itu.
Polisi datang tiga orang setelah kuhubungi dalam situasi yang kacau. Hal yang sangat melegakan bahwa mereka telah memercayai keteranganku---mungkin karena melihat keadaanku sudah benar-benar berantakan: Badan luka-luka, bibir bengkak, mata merah, baju robek, serta rambut acak-acakan.Â
Setelahnya, Haris terbangun seperti kebingungan, tetapi kemudian dia terlihat pasrah dan tidak berkata apa pun saat polisi-polisi itu meringkusnya. Sementara Haris digiring masuk ke mobil dinas kepolisian yang terparkir di depan rumah, seorang polisi wanita yang juga turut hadir mencoba menenangkanku dengan mengelus-elus punggungku dan mengatakan kalau semuanya akan aman.
Kurasa tidak benar-benar aman karena ketika selintas Haris melihatku dengan sorot mata yang seolah-olah membuncahkan permusuhan, bibirnya bergerak tanpa suara seperti hendak mengatakan, "Aku membencimu, Suzan!"---maka itulah aku harus melakukan sesuatu.
Jarum jam di dinding ruangan yang kudatangi menunjukkan pukul delapan kurang lima menit setelah tubuhku selesai divisum. Seorang wanita paruh baya berpenampilan rapi masuk dan menyalamiku. Dia dokter Emily, komisioner lembaga perempuan yang telah banyak berurusan dengan para korban pelecehan dan kekerasan dalam rumah tangga sekaligus terapis kesehatan, begitulah dia memperkenalkan diri.
Dokter Emily memelukku erat beberapa saat, sebelum aku mulai mengutarakan semuanya. Namun, suaraku seperti tersedak di tenggorokan.
"Baiklah, Suzan. Kamu bisa mulai jika sudah mulai tenang," katanya.
Aku mengangguk. Berulang kali aku menarik napas panjang agar mulutku ini mampu mengeluarkan barisan-barisan cerita meski dengan nada bergetar.
"Haris tahu persis apa yang dia mau. Dia bahkan memiliki daftar keinginannya terhadapku. Jika aku tidak melakukan apa yang dia katakan, dia akan sangat kesal. Dia memberiku banyak tekanan karena harus merawatnya. Kadang-kadang, aku merenung pada saat-saat tertentu ketika suara batinku mempertanyakan apakah rumah tangga kami sehat atau tidak."
"Bagaimana dengan perasaanmu sendiri? Seharusnya kamu layak mendapatkan cara hidup yang sehat."