"Apa yang datang?"
Aku mulai terpancing dengan kata-katanya.
"Aku tahu semuanya telah jauh dan aku hanya merasa sangat kosong setiap kalinya. Jujur, kamu yang bisa membuatku lebih bahagia, Mas. Tapi apakah aku selalu membuat kamu bahagia? Kamu pasti tidak memperhatikan semuanya setelah beberapa tahun kita hidup bersama."
Aku menelisik waktu ke belakang tentang bagaimana perasaan kami yang berapi-api saat awal-awal berjumpa, saat belum ada ikatan, saat belum sama-sama menyatakan perasaan. Setelahnya, sebenarnya biasa saja. Segalanya kemudian berjalan tidak ada ragamnya, kadang-kadang. Maka lama-lama kami rindu kembali sebagai pribadi yang mandiri, rindu dengan melayani diri sendiri, rindu saat terbangun sendiri, karena pasangan pun mengalami hal yang sama, yaitu kebosanan. Mungkin inilah yang sedang menjalar di antara kami, aku dan Suzan.
"Mas Haris, tolong, katakan sesuatu."
"Apa yang harus aku katakan?"
Aku hendak beranjak dan kupikir tidak perlu jauh mendengarkannya lagi. Entah apa yang menjadi gagasannya untuk mengemukakan fakta tersembunyi itu, tetapi aku masih bisa meredam emosional. Bisa saja dia menilaiku sebagai suami penipu hati dengan bersikap positif dan tidak seperti orang yang cemburu.
Gerakan tangannya lebih cepat menangkap tanganku yang menyebabkanku berhenti bergerak. Namun, aku mulai berpikir. Apakah berkencan menurutnya adalah hal yang menakjubkan atau bagian dari konflik hubungan kami yang sudah mulai terkikis kegairahannya? Jika ya, mau tidak mau aku juga perlu mengetahui hubungannya dengan seseorang yang dimaksud.
"Siapa dia?"
"Siapa?"
"Tentu saja laki-laki itu. Aku ingin tahu tentang dia."