"Entahlah."
"Dan aku tidak pernah berpikir untuk berpisah darimu."
Aku meluruskan tubuhku lagi. Â
"Jangan membuat aku kecewa, Haris. Bagaimana aku bisa memercayaimu, bahkan untuk mengungkapkan kesulitan saja kamu tidak bisa. Lalu, apalagi kuharapkan darimu?"
"Jika kamu bertanya tentang kebahagiaan terbesarku, aku menjawabnya ketika melihat kamu bahagia setelah perjuangan panjang menunggu kehadiran buah hati. Dan jika kamu bertanya tentang kesedihan terbesarku, aku menjawabnya ketika kamu mengalami keguguran dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kamu tahu bahwa saat itu seharusnya aku ada di sisimu, memelukmu, dan memberimu ketenangan. Namun, karena pekerjaanku sebagai penanggung jawab, aku tidak bisa pergi. Saat itu aku tidak bisa berkonsentrasi dan sungguh takut sesuatu akan terjadi kepadamu. Rasanya, semua darahku berhenti mengalir karena mengering. Setelah bekerja hingga subuh, aku bergegas ke rumah sakit, tetapi kamu tidak ada di ruangan persalinan. Kukira sesuatu terjadi kepadamu. Aku panik. Namun, saat aku pergi ke kamar pasien, kamu sedang makan semangkuk sup hangat dan melihatku tanpa berkata apa pun. Walaupun kamu sangat menderita dan terpukul menerima kejadian buruk itu, tapi aku lega karena kamu masih hidup. Aku memikirkanmu. Dan kukatakan kepadamu bahwa semua akan baik-baik saja setelah itu."
Mata Haris berkaca-kaca. Aku menyentuh tangannya, lalu menggenggamnya pelan-pelan.
"Lalu, mengapa setelahnya kamu seperti menjauh dariku?"
"Aku laki-laki yang payah, Suzan, sangat payah. Aku tidak bisa menghadapi dua kenyataan pahit secara bersamaan. Bagaimana bisa aku memberimu kebahagiaan, sementara aku dalam keadaan kacau. Perusahaanku jatuh, dan aku harus ikut andil berjuang keras untuk membuatnya bangkit lagi. Saat yang sama, aku tidak ingin membuatmu terpuruk dengan keadaanmu. Aku tahu kamu sudah cukup terpukul dengan kehilangan bayi meski aku tidak mempermasalahkan jika kemudian takdirmu tidak bisa memberiku buah hati lagi karena Tuhan tidak mengizinkan kita memilikinya. Apa pun keadaanmu, aku tetap mencintaimu. Maka, ketika aku melihatmu dengan segala aktivitas yang membuatmu bersemangat lagi, kupikir kamu telah bisa mengatasi semua yang terjadi. Sebenarnya ini berat untuk aku bekerja keras, bahkan untuk sering meninggalkanmu. Terkadang aku membencinya, tapi aku harus menahannya. Aku mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap perusahaanku, terhadap karyawanku, terhadap keluargaku, terhadapmu. Jadi, aku berpura-pura baik saja. Kulampiaskan semua stres dan kemarahanku di luar agar bisa tersembunyi darimu. Kepadamu, kupikir tidak ada masalah. Kamu bahkan bisa berdiri tanpaku. Aku sungguh tidak tahu kalau kamu ternyata sungguh menderita dengan sikapku. Maafkan aku."
Haris menangis dan kali ini aku yang tersentak. Aku ternyata lebih egois darinya yang kuanggap egois. Ya, Tuhan, bahwa akulah yang tidak pernah bertanya dan mengerti keadaannya, dan bahwa akulah yang selalu menuntutnya untuk memerhatikanku, itu membuatku jahat. Sementara, dia harus mengatasi permasalahannya juga. Aku bahkan tidak mengetahui seberapa jauh hati kami saling terhubung sehingga memberikan perasaan berkecamuk seperti ini. Dengan tidak melakukan kekerasan kepadaku saja dan dengan tidak meninggalkanku, seharusnya aku paham bahwa Haris sangat mencintaiku dan dia sungguh masih bertanggung jawab kepadaku. Hanya dia dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Parahnya, aku telah mengabaikan itu semua.
Aku tidak bisa menghindari rasa sakit di dadaku dan kemudian membiarkan air mataku mengalir.
"Haris, akulah yang belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Tolong maafkan aku juga. Namun, yang membuatku menyesal, kamu tidak pernah bercerita tentang keadaanmu. Itu membuatku kecewa. Kamu seperti sudah tidak memercayaiku dan menurutku itu sama halnya dengan kamu melakukan tindakan kekerasan kepadaku."