Aku ingin berbagi sudut kecil duniaku dengan sekumpulan kecil manusia dan flora yang melimpah. Sekarang, aku ada di kota yang tenang di lembah yang sepi. Tidak banyak yang terjadi di sini. Aku pun jarang bepergian jauh dari rumah singgahku ini karena sebagian besar waktu sehari-hari kuhabiskan untuk menikmati momen-momen kecil dengan beragam hobi: Membaca buku-buku inspirasi, menulis ide-ide random di kepala, mencoba menu-menu masakan baru, menyanyikan lagu-lagu yang kusuka, menari-nari dengan alunan musik klasik dari compac disk kuno, atau menonton koleksi film romansa asing. Semuanya merupakan bagian terapiku untuk menjauhi hiruk pikuk dunia dan hidup secara berbeda, meskipun aku tidak tahu untuk berapa lama ke depan.
Walaupun hari-hari terkadang terasa biasa saja, tetapi aku suka memperhatikan keindahan alam yang damai di sekelilingku dan merasa nyaman dalam kesederhanaannya.
Aku memilih menepi, menghapus pemikiran tentang perbandingan, tentang hidup yang masih saja terasa kurang---ini merupakan kecenderungan yang dimiliki semua orang. Dan dalam pikiranku, mengapa hidupku masih merasa getir setelah bisa bekerja keras dan telah mencapai hampir semua yang aku inginkan?
Aku ingat ketika berurusan dengan penyakit kanker, tiba-tiba aku menjadi sangat sadar betapa bebasnya orang lain, lalu meromantisasi kemampuan mereka untuk hidup begitu mudah dan gembira dalam tubuh mereka sendiri. Sebaliknya, aku merasa hampir tidak bisa hidup dengan tubuhku. Aku sangat ingin memiliki kedamaian batin seperti orang-orang yang kurasa lebih bahagia dariku---dan itu sangat tidak adil.
Aku tidak menginginkan sehatnya hidup orang lain, tidak juga. Aku memutuskan untuk tidak menginginkan kebahagiaan yang tadinya aku yakini mereka miliki. Banyak dari perasaan ini, ketika dibongkar, mengungkapkan begitu banyak kebahagiaan tentang diriku.
Seperti ketika Alena, temanku sejak remaja, meneleponku. Tujuannya meminta beberapa koleksi swafotoku karena katanya, dia suka melihat wajahku yang selalu tampak cantik alami, berbeda dengan wajah kebanyakan perempuan lain. Aku hanya tertawa kecil mendengar dia mengatakan demikian. Sejatinya, aku tahu dia membutuhkan pujian tentang wajahnya yang menurutku juga cantik.
"Aku tidak menyukai wajahku, bibirku, mataku, rambutku, Suzan, " katanya.
"Terus, kamu mau melakukan apa?"
"Aku hanya ingin tampil beda."
"Maksudmu?"