Yang menbuat Jono Haris frustrasi, kata-kata suci di dindingnya tidak berarti banyak bagi teman atau saudara yang mengunjunginya. Bukannya menerima nasihatnya, mereka bahkan menunjukkan belas kasihan atas pandangan pesimisnya. Ini yang membuatnya kesal dan dia sering sekali tidak bisa tidur karenanya. Satu-satunya kesenangan yang dia miliki dalam kesengsaraan karena tidak dianggapnya serius adalah sebuah buku kecil yang aneh yang dia sembunyikan di bawah kasurnya dengan kata-kata yang tertulis di sampulnya: "Sudah kubilang."
Dalam buku itu, Jono Haris selalu menulis bahwa dia benar. Ketika teman lamanya bangkrut, dia tidak terkejut. Ketika saudara laki-lakinya yang ditipu istrinya, menceraikannya, akhirnya membayar tunjangan anak, dia tertawa kecil. Ketika keponakannya menabrakkan mobilnya, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengucapkan kata-kata ajaib yang dengan kuat menegaskan cara hidupnya: "Sudah kubilang."
Hari-hari setelah dia mendengar tentang tragedi yang sudah dia prediksi, Jono Haris benar-benar menikmati kecoa merayap di langit-langitnya dan bau kotoran busuk. Itu sekali lagi menegaskan bahwa dunia memang mimpi buruk dan bahwa membuat keputusan yang tepat untuk meninggalkannya dengan penuh semangat.
Melihat dindingnya yang berharga dia bergumam, "Sekelompok orang bodoh. Jika mereka tahu apa yang aku ketahui, mereka tidak akan hidup begitu berbahaya. Setidaknya aku aman di sini, terasing dari kebodohan mereka."
Pada suatu hari, Jono Haris menerima surat dari saudara perempuannya. Bahkan sebelum membukanya, dia sudah tahu bahwa itu akan berisi berita buruk. Namun, itu tidak seperti yang dia harapkan.
Dari kota berjuluk mutiara dari timur, saudara perempuannya menulis kepadanya bahwa penyakit demam tifoid merebak di tempat saudaranya itu bekerja.
"Tifus?" Jono Haris mengerenyutkan kening. Dia dengan cepat melihat keluar jendelanya, dan melihat ke bawah, orang-orang lewat memakai masker wajah dan polisi berpatroli di jalan.
Jono Haris mengetahui bahwa penyakit tifus ditularkan oleh bakteri salmonella yang dibawa kecoa dan menyebabkan demam tifoid diikuti paru-paru berisi nanah hingga tidak bisa bernapas lagi dan mati. Segera dia melihat lubang hitam di langit-langit. Dia mulai memasang perangkap kecoa di semua sudut ruangan apartemennya. Meskipun membunuh banyak kecoa, dia tidak dapat memusnahkan seluruh sarangnya.
Beberapa hari kemudian, Jono Haris bangun di pagi hari dengan demam yang melemahkannya, tetapi dia masih bisa bergerak. Selama dua hari, demamnya makin parah seperti melumpuhkan tulangnya. Napasnya pendek dan berat. Dia melihat ke dindingnya dan berteriak: "Kamu berbohong padaku! Kamu bilang aku aman di sini!"
Jono Haris berdoa memohon pertunjuk, tetapi dijawab dengan diam. Tidak lama kemudian dia tertidur, lalu bermimpi dengan jelas tentang bagaimana dia berjalan ke luar, melintasi jalan kota, melewati tanggul menuju pantai. Ketika dia bangun, matahari bersinar melalui jendela di kamarnya. Daun jendelanya terbuka lebar. Dia merasakan angin lembut datang dan dia mendengar suara burung camar.
Yang membuatnya takut, dia menemukan bahwa "tembok pengetahuan" yang berharga itu kosong. Tidak ada satu kata yang tersisa. Dahinya mulai berkeringat karena demam. Ketika dia bangkit dan melihat melalui jendela kamar, burung camar terbang berputar-putar dan dia melihat pemandangan pantai. Apakah dia mengigau?