Jadi, setelah memaafkan, langkah selanjutnya adalah menjaga kebersihan mental kita dengan membuang sampah-sampah kebencian terhadap orang yang telah kita maafkan. Memaafkan tidak ada gunanya jika kita tidak bisa berkomitmen untuk selalu membersihkan hati dari kebencian.
Tidak melupakan kebaikan
Manusia cenderung lebih rentan terhadap hal-hal negatif daripada hal hal positif. Inilah sebabnya mengapa banyak orang selalu melihat aspek-aspek yang buruk saja. Fenomena ini dikenal dengan istilah "bias negatif", yaitu ketika pikiran seseorang selalu terfokus untuk melihat kesalahan orang lain daripada melihat kebaikan-kebaikan mereka.
Awalnya, bias negatif merupakan kemampuan kita untuk menimbang input negatif yang sangat mungkin berkembang karena alasan yang bagus untuk menjauhkan kita dari bahaya. Bahkan, sejak awal sejarah manusia, kelangsungan hidup kita bergantung pada keahlian kita menghindari bahaya. Otak kemudian mengembangkan sistem yang membuat kita memperhatikan dan menghindari bahaya, yang selanjutnya membuat kita cepat menanggapinya.
Akan tetapi, karakteristik negatif seseorang dapat mengaburkan sifat yang menguntungkan sedemikian rupa sehigga kita tidak dapat lagi melihat sisi positifnya. Dalam pikiran kita yang bias, seseorang telah menjadi sangat jahat sehingga cukup sulit untuk menerima perilaku buruk orang tersebut, apalagi memaafkannya.
Jadi, kita seharusnya bisa melihat secara luas bahwa orang yang kita benci juga bisa membawa kebaikan di dalam diri kita, sebagaimana manusia memiliki keburukan dan kebaikan. Ketika orang memberi kita tekanan seperti neraka, kita tumbuh lebih kuat, lebih berwawasan, dan lebih berbelas kasih. Luka masa lalu, tidak peduli seberapa parah, mungkin menjadi berkah terselubung.
Memilih cinta, bukan benci
Kecenderungan sebagian orang untuk menjawab kebencian adalah dengan kebencian juga, padahal hal inilah yang kenyataannya memperburuk keadaan, bahkan sering mengakibatkan konflik kekerasan dan pertumpahan darah.
Aktivis dan pendeta Baptis Martin Luther King Jr., memutuskan untuk tetap berpegang pada cinta, apapun wujud kebencian kita, karena kebencian menurutnya adalah beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Dia berargumen bahwa balas dendam dengan kekerasan justru menghasilkan hal-hal buruk yang sepantasnya dihancurkan.
Melalui kekerasan, kita membunuh pembenci, tetapi tidak membunuh kebencian. Faktanya, kekerasan hanya meningkatkan kebencian. Pembalasan dendam akan menambah kegelapan yang lebih pekat seperti pada malam yang gelap tanpa bintang. Kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan, hanya cahaya yang bisa melakukannya; Kebencian tidak bisa mengusir kebencian, hanya cinta yang bisa melakukannya.
Cinta tidak selalu berarti kita harus terlibat dengan orang lain. Kita dapat mencintai dengan jarak yang aman, misalnya, mendoakan yang terbaik untuk orang-orang yang menyakiti kita tanpa terbakar oleh api kedengkian mereka. Meskipun orang-orang tersebut tampaknya menentang cinta dan terus meracuni kita, memilih cinta daripada benci tetap merupakan pilihan terbaik untuk kesehatan mental kita sendiri.
Memaafkan yang didorong oleh cinta pasti akan mencairkan kebencian dan menggantikannya dengan walas asih. Welas asih adalah kekuatan damai yang tidak menghancurkan dengan penuh kebencian, tetapi dengan tenang mengakui sisi kemanusiaan pada setiap orang (terlepas dari kekurangannnya). Meski welas asih belum tentu mengusir kebencian dari orang lain, tetapi perasaan itu akan menciptakan kedamaian dan memberikan ketenangan kepada diri kita sendiri---dan itu yang paling penting.
---