Allen N. Berger pernah menulis kalimat, "Harapan yang tidak terpenuhi adalah kebencian yang direncanakan sebelumnya."
Dari kalimat tersebut, Berger ingin menunjukkan bahwa terkadang kita menyalahkan orang lain atas masalah kita, tetapi pada kenyataannnya, penyebab penderitaan yang kita alami bisa jadi bukan terletak pada orang-orang tersebut, melainkan pada harapan kita yang tidak terpenuhi oleh mereka sehingga menimbulkan kekecewaan yang berujung pada kebencian. Â
Salah satu kesalahan terbesar kita adalah mengharapkan orang lain untuk tidak melakukan kesalahan---betapa ironisnya hal ini terdengar. Kita sering kali menumpukan pikiran kita kepada orang lain dan memroyeksikan semua jenis harapan kepada mereka. Misalnya, kita berharap seorang teman selalu peduli dan tertarik dengan apa yang kita katakan dan berharap dia selalu membantu kita. Namun, ketika keinginan itu tidak terpenuhi, kita kerap tidak melihatnya sebagai manusia yang tidak sempurna, tetapi sebagai fantasi tentang mereka yang telah tercipta dalam pikiran kita.
Contoh lain dari fantasi pikiran itu seperti yang terjadi pada orang tua dan anak. Banyak orangtua memiliki harapan tinggi terhadap anaknya, begitu pula sebaliknya, anak mengharapkan orangtuanya menjadi orangtua yang baik. Fenomena fantasi ini jarang menyerupai kenyataannya, yang pada akhirnya, ketika semuanya tidak sesuai apa yang mereka harapkan, kekecewaanlah yang mereka dapatkan. Â Â
Sebenarnya, bukan perilaku buruk orang-oranglah yang menyebabkan kebencian kita, melainkan  tingginya ekspektasi kita terhadap mereka. Mereka kita anggap membuat kesalahan, bergosip, berkhianat, berbohong, dan melanggar batasan privasi kita sehingga tidak ada ruang untuk menerima kekurangan mereka. Padahal, dengan menerima bahwa tidak ada manusia yang sempurna (orang-orang pada dasarnya tidak sempurna), itu justru dapat memudahkan kita untuk melepaskan kebencian.
Merenungkan kemarahan dan kebencian
Tiga penyebab dasar penderitaan adalah keserakahan, ketidaktahuan, dan kebencian. Khusus mengenai kebencian, ia digambarkan sebagai noda besar kepribadian karena sifatnya yang merusak. Menyimpan kebencian bisa dikatakan seperti memegang bara panas dan menunggu yang lain terbakar. Terlepas dari keinginan balas dendam yang ada di pikiran kita, meski tidak pernah kita lakukan, memiliki dendam justru hal yang paling menyakitkan untuk diri kita sendiri.
Kita mungkin bisa merasakan pahit-getir tentang ketidakadilan hidup atau tentang hal-hal yang dilakukan orang-orang sekitar. Namun, tidak peduli seberapa banyak minyak yang kita lemparkan ke api pikiran kita, faktanya kita tidak bisa mengendalikan orang lain dan mengubah apa yang terjadi. Ketika terus meminum racun, menunggu musuh kita mati, pada akhirnya, kitalah yang mati dengan menyakitkan.
Dengan merenungkan sifat kemarahan dan kebencian yang dapat merusak diri, kita mengingatkan diri sendiri bahwa tidak bijaksanana membiarkan emosi seperti itu memenangkan pikiran kita. Dengan melepaskan kemarahan dan kebencian melalui pintu maaf, itu akan membuat kita berhenti menyirami benih-benih kehancuran.
Mewaspadai pikiran yang merusak
Bagi sebagian orang, memaafkan itu sesederhana membuat keputusan untuk terus maju. Namun, bagi sebagian lainnya, tindakan memaafkan tampaknya tidak begitu mudah. Terlepas dari resolusi apa pun yang kita buat, pikiran dan emosi negatif bisa saja dapat muncul kembali dan mengambil alih kondisi mental kita. Kemudian, tanpa kita sadari, perasaan dendam terhadap orang yang sebelumnya kita maafkan akan kembali muncul, bahkan lebih besar lagi.
Kemarahan sering datang kepada kita dan kita pun sering mendatangi kemarahan itu akibat pikiran yang merusak. Sebagian besar kita membuat keluhan sendiri dengan memelihara kecurigaan yang tidak mendasar atau dengan membesar-besarkan hal-hal sepele. Filsuf Seneca menyadari fenomena ini. Dalam esainya tentang kemarahan, dia memperhatikan bahwa kita memiliki hak untuk mengendalikan amarah dan kita harus membuangnya saat menghadapinya. Ketika pikiran-pikaran buruk menghalangi jalan, seharusnya kita menyingkirkannya dan sebelum ia tumbuh dan menyebar seperti kanker, kita harus melepaskannya.
Kita umpamakan pikiran kita sebagai taman, maka tugas kita adalah merawatnya. Kita dapat membiarkan rumput liar merusaknya atau kita dapat mencabutnya, membuangnya, dan mencegah rumput liar yang baru untuk tumbuh.