Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memahami Paradoks Mengejar Kebahagiaan

13 Januari 2023   16:57 Diperbarui: 14 Januari 2023   04:05 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebahagiaan bisa kita ibaratkan seperti kupu-kupu, makin mencoba menangkapnya, makin ia terbang menjauh. Namun, ketika kita berhenti mengejarnya, kemungkinan ia muncul di bahu kita saat kita tidak mengharapkannnya.

Dalam hidup ini, tentu saja tidak ada orang yang suka dengan hal-hal yang menyedihkan. Saat mengalaminya, kita cenderung menghilangkannnya atau melawannya. Ketidakpuasan kita terhadap kehidupan berupa kesedihan, kecemasan, dan kekecewaan, merupakan keadaan mental negatif yang seringkali kita gagal menyingkirkannya. Makin kita larut memikirkan keadaan-keadaan tersebut, ketidakbahagiaan yang kita rasakan malah tampak makin besar. Itulah, mengapa mencoba menekan kecemasan ringan dapat berubah menjadi serangan panik dan mengapa memaksakan diri sendiri untuk tidak bersedih sering kali bekerja berlawanan dengan perasaan.

Hal yang sama berlaku untuk berpikir negatif. Terkadang, datang dan perginya pikiran berada di luar kendali kita. Seperti halnya ketidakbahagiaan, makin berusaha menyingkirkan suatu pikiran, makin kuat pikiran itu karena dengan memikirkannnya, kita mengundang pemikiran itu tetap ada.

Sebaliknya, keadaan mental kebahagiaan juga tampak bersifat paradoks, yaitu makin kita ingin bahagia, makin kecil kemungkinan kita berhasil. Namun, ketika berhenti menginginkan kebahagiaan dan berhenti mengejarnya secara langsung, kemungkinan besar kita akan mengalaminya.

Nah, bagaimana paradoks kebahagiaan itu bekerja? Mengapa kebahagiaan begitu sulit dipahami? Adakah penjelasan ilmiah mengapa keinginan dan pencarian kebahagiaan mengurangi peluang kita untuk menemukannnya?

Baca juga: Membeli Kebahagiaan

Kebahagiaan itu sulit dipahami, bahkan kita tidak dapat memperolehnya secara langsung. Jika bisa, kita atau sebagian besar orang---jika tidak semua orang akan selalu bahagia---pasti akan mengetahui cara cepat mendapatkannya.

Pada abad ke-19, novelis Amerika Serikat, Nathaniel Hawthorne, menulis di salah satu buku catatan pribadinya, "Kebahagiaan di dunia ini seperti datang secara kebetulan. Jika menjadikannya objek pengejaran, kita seolah-olah mengejar angsa liar yang sangat sulit didapatkan." Itu artinya, apa pun yang kita kejar, tidak ada jaminan bahwa kebahagiaan akan dihasilkan darinya.

Kita mungkin mengharapkan kebahagiaan sebagai konsekuensi dari tindakan tertentu. Namun dalam banyak kasus, ekspektasi ini kadang-kandang tidak sejalan dengan kenyataan. Misalnya, kita mungkin memiliki ekspektasi dan keinginan bahwa berkumpul dengan teman-teman akan menimbulkan kesenangan. Namun,  ada kemungkinan perkumpulan ini tidak akan memberi kita kebahagiaan yang dicari karena mungkin saja kita mengalami kejadian yang malah berujung pada kekecewaan.

Kekecewaan yang kita rasakan merupakan kegagalan untuk memenuhi ekspektasi kita, bahkan dapat memperburuk keadaan---dalam beberapa kasus, hal itu memang terjadi, sedangkan dalam kasus lain, hal itu tidak terjadi. Jika terjadi, kemungkinannya adalah tentu saja kita terus mengejar kebahagiaan dengan cara lain untuk menemukannnya.

Tampaknya, kita bisa sedikit lebih banyak menciptakan kondisi yang membuat kebahagiaan lebih sering muncul meskipun pada akhirnya, itu tetap sulit dipahami. Hal itulah yang disebut "Paradoks Hedonisme". Ide "Paradoks Hedonisme" ini pertama kali diciptakan oleh Henry Sidgwick, seorang ekonom dan filsuf Utilitarian Inggris, yang menjelaskan bahwa pengejaran kesenangan secara sadar akan mengganggu pengalaman aktualnya. 

Sayangnya, ide tersebut pada akhirnya membuat orang-orang cenderung berpikir bahwa kebahagiaan hanya akan didapat dengan melakukan gaya hidup hedonisme dan itu akan membuat mereka menutup mata terhadap tujuan hidup yang lain.

Seorang filsuf sekaligus psikiater Jerman, Viktor E. Frankl, dalam bukunya "Man's Search for Meaning", dia menyatakan bahwa kita tidak mungkin mengejar kebahagiaan secara langsung dan itu harus "terjadi". Ini berarti bahwa dengan apa apun yang kita lakukan, kebahagiaan seharusnya bukan untuk menjadi tujuan utama, melainkan sebuah produk samping dari tindakan kita.

Frankl berpendapat bahwa produk samping tersebut sebenarnya berasal dari dedikasi pribadi seseorang untuk tujuan yang lebih besar dari keinginannya sendiri atau produk samping sebagai hasil penyerahan seseorang kepada orang lain selain dirinya sendiri.

Frankl sendiri membuang tujuan kebahagiaannya ketika dia di penjara selama Perang Dunia II dan menggantinya dengan tujuan lain, yaitu menggunakan keahliannya sebagai dokter untuk membantu para napi di dalam penjara tetap bertahan. Dia kemudian menemukan penderitaan terkadang berhenti menjadi penderitaan ketika makna hidup justru ditemukan dan bahkan menjadi kebahagiaan meski dalam kondisi yang sangat keras.

Menurut Frankl, kebahagiaan memang harus terjadi seperti halnya kesuksesan. Meski demikian, kebahagiaan tidak dapat dicapai secara langsung. Oleh karenanya, itu tidak boleh menjadi fokus tindakan kita. Untuk mendapatkannya, kita harus berhenti memedulikannya.

Selain perenungan filosofis tentang sulitnya mencapai kebahagiaan, penelitian akademis juga menunujukkan bahwa sebuah studi tahun 2021 yang berjudul "The paradox of Pursuing Happiness" atau "Paradox Mengejar Kebahagiaan"  Felicia K. Zerwas dan Brett Q. Ford, menguraikan tentang bagaimana makin banyak orang menginginkan kebahagiaan, makin mereka tidak bahagia.

Kebanyakaan orang yang berjuang untuk satu tujuan, biasanya makin besar kemungkinan untuk mencapainya. Namun, logika ini tidak selalu berlaku untuk memperjuangkan kebahagiaan. Banyak bukti menunjukkan bahwa terlalu fokus pada kebahagiaan malah dapat memprediksi konsekuensi negatif, baik dalam jangka pendek, misalnya kesenangan sementara, maupun jangka panjang, misalnya keadaan yang lebih buruk.

Agar "paradoks mengejar kebahaagiaan" dapat dipahami, Felicia dan Brett,  menggunakan model pengejaran tujuan (berdasarkan model pengejaran tujuan yang ada) yang mereka terapkan pada kebahagiaan. Model ini dengan menetapkan "sasaran kebahagiaan, yang berasal dari keinginan kita untuk bahagia. 

Untuk mencapai tujuan itu, seseorang terlibat dalam fase "pengaturan emosi" yang memerlukan strategi untuk meningkatkan kebahagiaan. Misalnya, untuk mencapai keadaan bahagia yang diinginkan, seseorang akan melakukan sebuah perjalanan, berbelanja, atau mengunjungi ahli terapis. Ada kemungkinann bahwa emosi seseorang saat itu berjalan dengan keadaan yang diinginkannya, yang kemudian dapat dianggapnya berhasil.

Namun, jika keadaan seseorang saat itu tidak setara dengan keadaan yang diinginkannya, hal tersebut dapat menyebabkan dua hal: Hal pertama, dia terlibat kembali dalam fase "regulasi kebahagiaan" dan menerapkan strategi kembali untuk meningkatkan kebahagiaannya; Hal kedua yang mungkin terjadi adalah apa yang disebut meta-emosi, yaitu merasa kecewa dengan keadaan saat itu.

Meta-emosi ini secara langsung memengaruhi keadaan seseorang. Misalnya, seseorang melakukan perjalanan dengan harapan akan menghasilkan kebahagiaan. Namun, selama perjalanan ternyata tujuan tersebut tidak tercapai. Hasil pengamatan pada perjalanan tersebut dengan sendirinya berdampak negatif pada suasana hati seseorang. Sehubungan dengan mencari kebahagiaan, ini berarti bahwa tindakan merenungkan tujuan kebahagiaan seseorang berdampak negatif pada kondisi saat peristiwa selesai terjadi.

Model pengejaran tujuan menunjukkan kepada kita bahwa kebahagiaan sebagai tujuan bisa salah dalam beberapa cara. Pertama, jika tujuannya terlalu tinggi, seseorang tidak mungkin mencapainya. 

Kedua, mengarah meta-emosi berupa kekecewaan. Ketiga, meregulasi kebahagiaan  yang tidak selalu memberikan hasil yang diinginkan---yang terakhir terjadi karena seseorang memilih strategi yang salah karena tujuan kebahagiaan yang diinginkan telah kita tetapkan terlalu tinggi untuk dicapai. Intinya adalah kita melakukan hal-hal yang mungkin menghasilkan kebahagiaan secara paradoks. Melakukan hal itu mencegah seseorang menetapkan tujuan yang sulit atau tidak mungkin dicapai akan berdampak negatif pada kondisi mental seseorang ketika gagal mencapainya.

Jika tindakan kita tidak menghasilkan kebahagiaan sebenarnya tidak apa-apa, tetapi jika ya, itu lebih baik lagi karena tindakan kita telah menghasilkan produk sampingan yang disambut baik. Contoh membiarkan kebahagiaan muncul sebagai produk sampingan adalah bagaimana kaum Stoa mengejar kebajikan.  Bagi kaum Stoa, kebahagiaan adalah konsekuensi dari hidup dengan kebajikan, jadi tidak diperoleh secara langsung. Kebajikan akan mendorong kita untuk menemukan makna lain kebahagiaan dalam keadaan orang lain, misalnya, kita melakukan perbuatan baik untuk orang-orang di sekitar kita sehingga kebahagiaan bisa terjadi.

Setiap kebahagiaan yang mungkin datang dari sebuah kebajikan akan menjadi bonus tak terduga. Dengan demikian, secara positif, hal itu dapat memengaruhi suasana hati kita. 

Misalnya, daripada melakukan perjalanan untuk kesenangan pribadi, kita lebih baik mengunakan dana perjalanan itu untuk mendapatkan manfaat lain. Alih-alih membelanjakan uang dan harta benda dengan harapan menghasilkan kebahagiaan, kita dapat menggunakan uang itu untuk membantu orang lain. Namun, jika tidak merasakan bahagia sama sekali sebagai akibat dari tindakan kita, kemungkinan kita melakukan ekspektasi tujuan dengan tanpa sadar. Jadi, sebaiknya, kita melakukan kebajikan tanpa adanya ekspektasi, maka dengan demikian kemungkinan kebahagiaan itu akan datang sendiri.

--Shyants Eleftheria, Life is A Journey--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun