Ketika musuh itu datang, kita akan melihat kalimat yang baru saja kita tulis dengan "Saya harus mengubah dan memperbaikinya." Maka pada kondisi ini, kita cenderung melakukan peralihan konteks yang menyebabkan kita berada dalam kondisi pikiran yang kurang kreatif. Jika terus-menerus mengedit terhadap apa yang baru saja kita tulis, kita benar-benar tidak akan pernah mendapatkan momentum yang baik sejak awal.
Metafora lain untuk menulis adalah proses menambang emas. Jika tidak pernah menggali terus hingga ke bawah dan disibukkan dengan banyaknya kotoran yang tidak berguna di sekitar penambangan, kita tidak akan pernah mendapatkan emas pada kedalaman yang kita cari.
Apa yang kita tulis mungkin tidak akan terlihat seperti produk akhir. Maka untuk sampai ke titik akhir sesi penulisan, kita harus terus menuangkan ide meskipun harus berantakan.Â
Begitu selesai, kita dapat kembali membacanya dari awal, lalu mulai membersihkan kekacauan itu dengan melakukan proses pengeditan.
Membaca kembali dengan suara lantang
Apa langkah pertama untuk melakukan proses pengeditan? Langkah pertama yang paling baik adalah membaca tulisan kita dengan lantang.
Kita cenderung menganggap menulis sebagai seni bisu, padahal sejatinya menulis juga memiliki kesamaan seperti musik, yaitu memiliki irama.Â
Banyak dari kita yang mungkin masih menulis dengan mengabaikan bagian irama yang justru memiliki peranan penting terhadap daya tarik tulisan.
Membaca tulisan dengan suara lantang dapat membantu kita menyeleksi kalimat-kalimat yang mungkin memiliki kesalahan pada ejaan, tata bahasa, atau mungkin menggunakan terlalu banyak kalimat yang panjang dan klausa yang sama berturut-turut.
Membaca dengan suara lantang---maksudnya dengan volume suara yang kita atur agar tidak mengganggu orang lain yang kemudian mendengarnya sehingga terganggu---tidak hanya membuat kita mengikuti ritme tulisan, tetapi juga memberikan pemahaman tentang bagaimana kita berposisi sebagai pembaca dengan menemukan hal-hal kecil untuk diperbaiki. Â
Menyederhanakan tulisan