"Apa yang Anda lakukan kepada saya!"
"Maksud Anda bagaimana, Pak? Apakah kejadian terburuk belum datang?"
Karena frustrasi mendengar suaranya yang seperti tidak bersalah, hampir saja secara otomatis aku membuang ponselku sejauh mungkin, tetapi kuurungkan, aku hanya mematikan teleponnya.
Aku mengeluarkan botol kecil dari sakuku. Benda itu tampak tidak berubah, masih bersinar terang.
"Apa yang kamu lakukan!"
Aku menyadari bahwa mungkin aku terlihat seperti orang gila karena berteriak ke botol di tanganku. Ketika menatap kacanya yang berkilauan, aku mengingat sesuatu. Tiba-tiba terbayang wajah istri dan putriku. Aku memikirkan mereka. Di manakah mereka sekarang? Aku tahu mereka ada. Mereka memang ada. Aku baru saja melihat Emilia pagi tadi, tetapi tidak sempat berpamitan dengannya, bahkan ke putri kecilku.
Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sehingga tidak memiliki waktu untuk berkumpul bersama mereka. Aku tidak pernah mengajak mereka berjalan-jalan, bahkan di hari libur. Yang ada di kepalaku adalah mencari uang, uang, dan uang karena kupikir uang bisa membuat Emilia senang. Namun, semua dalam hidup ternyata memang bukan tentang uang. Keluargaku lebih membutuhkan waktu dan perhatianku. Â
Pikiran itu mencabik-cabik perasaanku. Aku seperti kehilangan mereka, bahkan aku tidak tahu  mereka berada di mana. Otakku berputar, seketika teringat bahwa kemungkinan Emilia pergi ke rumah ibunya. Astaga, ya, Emilia ingin mengunjungi ibunya. Hanya ibunya yang masih ada, tidak dengan kedua orang tuaku. Aku melupakannya. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ikut mengunjunginya.
Aku tidak ingin pulang ke rumah yang membuatku bingung. Aku memutuskan untuk ke rumah Ibu mertuaku. Namun, mendadak aku tidak bisa mengingat satu fakta pun tentang perjalanan menuju ke sana. Aku kehilangan ingatan lagi. Â
Hujan disertai angin dingin sekarang. Itu seperti mencambuk wajahku, membuat hidung dan pipiku perih. Aku ingin pulang. Aku ingin bersama istri dan anakku, mencari kehangatan bersama mereka.
Aku masih berdiri di depan gedung dan memegang botol itu. Dengan matahari terbenam dan langit hujan, aku melihat botol ditanganku bersinar lebih terang daripada lampu jalan mana pun di dekatku. Sayangnya, aku justru tidak bisa mengingat apa pun. Yang bisa kuingat secara kongkret adalah wanita yang memberikan botol kepadaku. Dan mengatakan bahwa itu adalah botol yang membawa kebahagiaan. Dia penipu. Botol kebahagian tidak membawa kebahagiaan, tetapi rasa sakit karena yang kubeli adalah penderitaan. Bahkan, aku lebih sengsara daripada sebelumnya.