Kita akan bekeluarga tanpa kehilangan nafsu seksual atau kehangatan emosional. Pasangan kita harus menjadi belahan hati, sahabat, orang tua untuk anak, supir, akuntan, asisten rumah tangga, dan pemandu jiwa kita.
Jika bertanya asumsi cinta dalam pandangan romantisme, kita akan melihat sifatnya adalah melindungi cinta, bukan merusaknya. Kita membutuhkan membuat teori post-romantisme baru terhadap pasangan untuk membangun hubungan yang langgeng. Kita tidak bisa berfokus pada perasaan romantis di awal hubungan saja dan harus mengganti pandangan romantisme dengan visi cinta yang dewasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang efektif. Sebagai contoh, tidak menjadi masalah selama beberapa jam di awal hubungan---yang terpenting dilakukan secara santai---jika kita dan pasangan membahas cinta dan hubungan seks, mendiskusikan masalah keuangan dengan serius, atau mendiskusikan kebiasaan-kebiasaan buruk masing-masing. Seluruh sikap ini penting untuk visi post-romantisme yang masuk akal dan penuh harapan di masa yang akan datang.
Kita menyadari kekurangan kita dan pasangan kita. Ini dapat menjadi kelebihan dari satu pasangan karena perbedaan dan kekurangan ini akan meningkatkan rasa toleransi dan kerendahan hati di antara keduanya. Kita tidak akan menemukan semua hal yang kita mau dalam satu orang, begitu pula sebaliknya. Bukan karena tidak sempurna, tetapi begitulah manusia diciptakan.
Pada akhirnya, kita harus berdamai, meminta maaf, dan terus berusaha untuk mengerti satu sama lain---bukan sekadar intuisi---karena ada kehormatan tersendiri dalam mengerti kebutuhan pasangan kita dan semuanya membawa kita ke tempat tujuan bersama ke depan.
Â
--Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H