Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Fakta Hubungan Memaafkan dengan Kedamaian

9 September 2022   19:41 Diperbarui: 11 September 2022   23:45 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berjabat tangan meminta maaf (Unsplash/Sincerely Media) 

Apa yang kita bayangkan ketika mendengar kata "damai"? 

Mungkin damai itu kita ibaratkan ketika melihat pemandangan indah di alam berupa hamparan sawah hijau yang menguning dengan latar belakang gunung menjulang yang elok, serta suara gemericik air sungai yang mengalir, atau hal-hal lainnya yang menggambarkan suasana penuh damai. Apapun yang ada di pikiran kita, semua berpotensi menciptakan ketenangan. Nah, keadaan demikianlah yang sejatinya bisa disetarakan dengan efek "memaafkan". 

Mengapa memaafkan berhubungan dengan kedamaian?

Ada kalanya kita mengalami situasi marah terhadap seseorang yang ujung-ujungnya karena kesadarannya, kita pun memberi maaf. 

Dalam definisi yang paling sederhana, memaafkan adalah berhenti merasa marah atau kesal terhadap seseorang karena suatu pelanggaran atau kesalahan yang diperbuatnya, baik sengaja maupun tidak. Kondisi tersebut kemudian disinyalir mampu memberikan perasaan damai disebabkan hilangnya emosi negatif dalam diri kita.

Merasa kesal dan marah terhadap situasi yang tidak tepat adalah hal yang wajar. Namun, membayangkan kemarahan yang terjadi sama halnya seperti membayangkan situasi perang dan selalu akan menimbulkan korban. 

Meski bukan berada pada posisi pelanggar, kenyataannya kita justru mendapatkan manfaat dari memaafkan seseorang yang telah berbuat salah kepada kita. 

Nah, bagaimanakah memberi maaf itu bisa begitu bermanfaat? Mari kita coba menyelaminya lebih dalam.

Sejuta hal bisa dilakukan orang-orang untuk membuat kita marah kepada mereka: Ada yang kecil, seperti bercanda dengan membuat olok-olok konyol, dan ada pula yang besar dan tidak terduga, seperti mengkhianati sebuah persahabatan. 

Hal-hal yang orang-orang lakukan itu terhadap kita pada akhirnya mampu menghancurkan kepercayaan yang kita miliki terhadap mereka---dan kita merasa rentan untuk bereaksi negatif.

Ilustrasi memaafkan| by pixabay
Ilustrasi memaafkan| by pixabay

Tingkat kesalahan yang dilakukan seseorang memang menimbulkan respons kita yang berbeda pula, tetapi dalam kondisi semua itu, kita tentu merespons dengan perasaan negatif yang sama: kesedihan, atau lebih umum, kemarahan.

Fakta psikologi menarik yang akan membuat kita memikirkan kembali situasi marah adalah bahwa kemarahan itu sesungguhnya merupakan emosi sekunder. Itu artinya bahwa kita pun terpaksa marah untuk menutupi emosi berbeda yang pertama kali kita rasakan. 

Biasanya, emosi pertama adalah rasa sakit hati atau kesedihan. Sementara reaksi marah terjadi karena seseorang mengatakan sesuatu yang sangat menyinggung perasaan kita. Namun, tahukah kita mengapa komentar seseorang itu menyinggung kita? Jawabannya, itu karena kita memedulikan perkataan seseorang tersebut.

Pada dasarnya, seseorang mengatakan sesuatu yang negatif yang membuat kita merasa sakit hati karena seseorang tersebut mungkin menganggap kita sama seperti yang dia katakan. Alhasil, meski kemarahan hanyalah respons sekunder, tetapi kemarahan merupakan reaksi  yang cepat untuk mempertahankan diri dari perasaan yang rentan mengalami sakit.

Seseorang yang kita anggap melanggar norma sosial mungkin meminta maaf atas kesalahannya atau mungkin dia malah menjulurkan lidah dan hidungnya ke udara dan tetap membangkang. Jika keadaan kedua yang terjadi, kita tidak bisa mengatasi rasa sakit hati yang terlanjur timbul sehingga kita tetap marah dan dendam tanpa bisa dikendalikan---dan dendam pun betah bercokol di satu tempat: kepala kita.

Pada awalnya, menyimpan dendam terhadap seseorang mungkin tampak dibenarkan sebab dia telah menganiaya kita dan dia pantas masuk ke daftar hitam hubungan sosial kita. Namun, satu hal, bagi kita yang menyimpan dendam, kemarahan dan luka yang terus menerus, tentu bertanggung jawab untuk ketidaknyamanan dan kerusakan memori yang akan muncul secara signifikan.

Menyimpan dendam dengan menolak memberikan maaf itu berarti menyangkal kebebasan diri sendiri. Kita mengunci diri di dalam ruang mental yang akan melarang kita untuk terus maju dalam menjalani kehidupan. Hal itu justru telah terbukti berefek meningkatkan stres dan mengurangi empati kita sendiri terhadap orang lain---yang bersikap baik---dalam hidup kita. 

Menjadi orang yang tidak pemaaf bahkan menempatkan tubuh kita ke dalam mode melawan atau lari tanpa pernah menyelesaikan suatu masalah sehingga meningkatkan risiko kita sendiri untuk kemudian depresi dan mengalami kecemasan berkepanjangan. Jadi, siapa yang sebenarnya hidup paling menyakitkan? Jawabannya adalah kita.

Sekarang, kita dapat melihat efek merugikan dari menahan amarah dan menyimpan dendam. Namun, menghindari kemarahan membuat kita harus melakukan bagian yang sulit, yaitu memaafkan. Tapi bagaimana kita melakukan maaf ini dengan tepat? Memberi maaf seperti perjalanan pribadi dan tentu saja terlihat berbeda bagi setiap orang.

Memberikan maaf itu dimulai dengan sebuah keputusan yang berat. Kita harus teguh dalam pemikiran bahwa kita siap untuk meninggalkan luka dan melanjutkan hidup kita. 

Beberapa hal mungkin tidak akan pernah sama karena setelah memaafkan adalah keadaan atau hubungan yang  mungkin tidak akan kembali seperti semula---tetapi tidak apa-apa sebab memaafkan adalah menerima bahwa segala sesuatu dapat berubah.

Mungkin kita terluka, tetapi hal itu kemudian bisa membuat kita kuat dan siap untuk bangkit tanpa terus menerus memikirkan dan merasakan emosi negatif terkait momen yang menyakiti kita tersebut. Namun demikian, kita memberi maaf kepada seseorang tidak berarti bahwa kita perlu membiarkan orang itu kembali ke dalam kehidupan kita. Jika itu menimbulkan traumatis, sebaiknya tinggalkan saja.

Setelah memutuskan bahwa kita bersedia untuk memaafkan, kita mulai mengambil langkah-langkah kecil setiap hari untuk melupakannya. 

Jika pikiran negatif memasuki pikiran kita tentang orang atau situasi yang menyakitkan itu, kita sebaiknya melakukan upaya sadar untuk menyingkirkan pikiran-pikiran buruk dan menggantinya dengan pikiran positif terkait dengan hidup yang akan selalu bergerak maju.

Kita akan terkejut bahwa betapa banyak peluang yang tampak muncul ketika kita mengubah perspektif tentang memaafkan. Tubuh kita perlahan-lahan akan merasa lebih ringan, lebih bahagia, dan lebih mudah menerima hal-hal baru di sekitar kita sehingga dapat memperkuat hubungan sosial saat ini dan memercayai cinta yang lebih tulus dari orang-orang yang sejatinya tidak ingin sengaja menyakitkan hati kita. Kita pun akan dapat mengejar hal-hal yang membuat bahagia tanpa mengkhawatirkan hal-hal di masa lalu.

Akhirnya, dalam semua langkah kecil, kita mulai menyembuhkan rasa sakit yang awalnya tidak kita harapkan. 

Memberi maaf dimulai dengan keputusan besar dan itu berlanjut sebagai proses lebih dari sekadar menebus manfaat. 

Memaafkan akan memungkinkan kita untuk melepaskan perasaan negatif yang membebani kita. Pikiran kita seolah-olah menjadi terstruktur rapi dan siap untuk tumbuh dan menggerakkan emosional ke arah yang lebih tertata baik.

Secara perlahan, kita dapat menyembuhkan luka sendiri dan mengubah fokus ke lebih banyak hal yang membuat kita bahagia dengan melepaskan dendam akibat kemarahan. 

Jika memaafkan itu perlu dan penting secara psikologis dan fisik. Lantas, masihkah kita berpikir ulang untuk tidak memberi maaf?

--Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun