Tingkat kesalahan yang dilakukan seseorang memang menimbulkan respons kita yang berbeda pula, tetapi dalam kondisi semua itu, kita tentu merespons dengan perasaan negatif yang sama: kesedihan, atau lebih umum, kemarahan.
Fakta psikologi menarik yang akan membuat kita memikirkan kembali situasi marah adalah bahwa kemarahan itu sesungguhnya merupakan emosi sekunder. Itu artinya bahwa kita pun terpaksa marah untuk menutupi emosi berbeda yang pertama kali kita rasakan.Â
Biasanya, emosi pertama adalah rasa sakit hati atau kesedihan. Sementara reaksi marah terjadi karena seseorang mengatakan sesuatu yang sangat menyinggung perasaan kita. Namun, tahukah kita mengapa komentar seseorang itu menyinggung kita? Jawabannya, itu karena kita memedulikan perkataan seseorang tersebut.
Pada dasarnya, seseorang mengatakan sesuatu yang negatif yang membuat kita merasa sakit hati karena seseorang tersebut mungkin menganggap kita sama seperti yang dia katakan. Alhasil, meski kemarahan hanyalah respons sekunder, tetapi kemarahan merupakan reaksi  yang cepat untuk mempertahankan diri dari perasaan yang rentan mengalami sakit.
Seseorang yang kita anggap melanggar norma sosial mungkin meminta maaf atas kesalahannya atau mungkin dia malah menjulurkan lidah dan hidungnya ke udara dan tetap membangkang. Jika keadaan kedua yang terjadi, kita tidak bisa mengatasi rasa sakit hati yang terlanjur timbul sehingga kita tetap marah dan dendam tanpa bisa dikendalikan---dan dendam pun betah bercokol di satu tempat: kepala kita.
Pada awalnya, menyimpan dendam terhadap seseorang mungkin tampak dibenarkan sebab dia telah menganiaya kita dan dia pantas masuk ke daftar hitam hubungan sosial kita. Namun, satu hal, bagi kita yang menyimpan dendam, kemarahan dan luka yang terus menerus, tentu bertanggung jawab untuk ketidaknyamanan dan kerusakan memori yang akan muncul secara signifikan.
Menyimpan dendam dengan menolak memberikan maaf itu berarti menyangkal kebebasan diri sendiri. Kita mengunci diri di dalam ruang mental yang akan melarang kita untuk terus maju dalam menjalani kehidupan. Hal itu justru telah terbukti berefek meningkatkan stres dan mengurangi empati kita sendiri terhadap orang lain---yang bersikap baik---dalam hidup kita.Â
Menjadi orang yang tidak pemaaf bahkan menempatkan tubuh kita ke dalam mode melawan atau lari tanpa pernah menyelesaikan suatu masalah sehingga meningkatkan risiko kita sendiri untuk kemudian depresi dan mengalami kecemasan berkepanjangan. Jadi, siapa yang sebenarnya hidup paling menyakitkan? Jawabannya adalah kita.
Sekarang, kita dapat melihat efek merugikan dari menahan amarah dan menyimpan dendam. Namun, menghindari kemarahan membuat kita harus melakukan bagian yang sulit, yaitu memaafkan. Tapi bagaimana kita melakukan maaf ini dengan tepat? Memberi maaf seperti perjalanan pribadi dan tentu saja terlihat berbeda bagi setiap orang.
Memberikan maaf itu dimulai dengan sebuah keputusan yang berat. Kita harus teguh dalam pemikiran bahwa kita siap untuk meninggalkan luka dan melanjutkan hidup kita.Â