Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Joker dan Moralitas Sebuah Film, Haruskah Ada?

14 Januari 2022   23:44 Diperbarui: 16 Januari 2022   05:30 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tokoh Joker| image by warner bros pictures via IMDB

Apa yang terlintas di pikiran kita ketika menonton sebuah film? Apakah kita berharap bahwa selain menyuguhkan hiburan, film juga harus memberikan sebuah pesan lebih—moralitas? Pertanyaan itu mungkin tidak begitu penting bagi sebagian orang, tetapi bisa jadi penting bagi sebagian lainnya. 

Artinya, ada yang berpendapat bahwa film hanya merupakan sebuah hiburan penghilang ketegangan hidup, tidak lebih, dan ada juga yang berpendapat bahwa film merupakan media yang harus bisa memberikan nilai edukasi bagi orang-orang yang menyaksikannya. 

Nah, tidak ada yang salah dengan perbedaan pendapat tersebut karena berdasarkan fungsinya, film pun  memiliki beberapa peranan, yaitu menyampaikan pesan dalam bentuk informasi, edukasi, dan hiburan, melalui media komunikasi.

Terkait moralitas, kita ambil satu film dari sekian banyak film yang beredar, yang mungkin bisa mewakili sisi penilaian tersebut, yaitu “Joker”. Film yang rilis di Indonesia 2 Oktober 2019 dari hasil besutan sutradara Todd Phillips itu menyajikan tema mentall illness yang tidak biasa, dengan banyaknya percakapan menarik di dalamnya. 

Jika pernah menonton film tersebut, kita akan menemukan banyak kalimat, baik secara langsung diucapkan oleh tokoh Joker maupun secara tidak langsung, yang belakangan dijadikan semacam quotes dengan presepsi yang bermacam-macam. Salah satu kalimat populernya adalah : “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”.

Joker menceritakan kisah seorang pria yang mengalami gangguan mental (skizofrenia), Arthur Fleck, yang memutuskan untuk membunuh semua orang karena membuatnya marah—hal tersebut secara tidak sengaja juga menyebabkan timbul pemberontakan kekerasan terhadap orang kaya. 

Film tersebut memulai debutnya di Festival Film Venesia lebih dari sebulan sebelum dirilis secara luas. Itu berarti bahwa ada satu bulan penuh bahwa satu-satunya orang yang telah melihat film tersebut adalah kritikus film—dan reaksi awal mereka memicu kontroversi secara online.

Intinya, beberapa kritikus mengatakan film itu memiliki ide-ide buruk dan itu akan mengilhami tindakan kekerasan yang nyata. Logikanya adalah kita tahu pada saat orang-orang seperti Arthur melakukan tindakan kekerasan nyata seperti itu—setidaknya film yang mungkin ditafsirkan demikian oleh sebagian penonton—apakah ada pertanggungjawaban dari pembuat film yang mengagungkan seorang pembunuh? 

Yang terjadi kemudian, kritik tersebut disambut dengan gelombang komentar yang sama ketika kita mendiskusikan politik atau ide dari media popular online. Komentar yang bermuara kurang lebih seperti ini: Diam! Berhenti mengutip politisasi seni. 

Sebenarnya, apa yang mendasari terjadinya konflik perbedaan pola pikir disebabkan adanya ketidaksepakatan atas pertanyaan: Apakah seni memiliki tanggung jawab sosial? Maka, orang-orang lantas banyak yang beragumen menjawab pertanyaan tentang seni dan moralitas. Untuk menjawab pertanyaan itu dengan benar, kita bisa mengulik gagasan beberapa filsuf terkenal.   

Pertama, Plato, filsuf Athena, dengan bukunya “The Republic” yang menyuguhkan dialog antara Plato dan gurunya, Socrates, yang mencoba membayangkan seperti apa republik yang sempurna itu, dia lantas menggambarkan bahwa republik yang sempurna itu mempunyai tempat untuk setiap jenis pekerja: Nelayan pergi ke sini; Para filsuf pergi ke sana; Penguasa harus melakukan ini dan itu. Namun, kemudian pemikirannya sampai ke penyair (penulis) dan pesannya kepada mereka: Kami tidak ingin kalian ada di sini. Menurut Plato, kehidupan pekerja seni di masyarakat akan selalu diasingkan. Argumennya adalah sebuah paraphrase "tolong pikirkan anak-anak!" 

Plato berpendapat bahwa bercerita pada dasarnya berbohong—dan berbohong itu buruk. Jika orang-orang, terutama kaum muda, mendengarkan kebohongan maka mereka akan disesatkan dan itu akan merusak masyarakat. 

Dalam kata-katanya, intinya bahwa seorang anak muda tidak dapat membedakan kapan sesuatu itu alegoris dan kapan tidak, dan ide apa pun yang diterima oleh orang dengan usia muda itu cenderung menjadi permanen atau hampir tidak dapat dihapus. Pemikiran tentang pengaruh seni ke anak-anak merupakan tawaran pertama Plato kepada pembuat seni dunia dengan cara mengatakan yang baik-baik saja. 

Dia kemudian membuat daftar kebajikan yang menurutnya harus dikembangkan oleh para seniman: membuat orang berani, disiplin diri, dan lain-lain. Aktualisasinya bahwa orang baik diberi penghargaan dan orang jahat dihukum. 

Jadi, seni menurut Plato memiliki tanggung jawab sosial—mendidik secara moral. Seni memerlukan penanaman nilai-nilai yang tepat dalam populasi. Apa pun yang tidak sesuai dengan tujuan spesifik itu tidak boleh dibiarkan ada.

Posisi Plato tersebut sangat ekstrem dan bahkan ada perdebatan bahwa apakah Plato sendiri yang mengartikan secara harafiah perihal pertanggungjawaban sosialnya itu, atau sebagai eksperimen pemikirannya saja. Namun demikian, posisi yang populer secara historis, Gereja Katolik, misalnya, mengawasi seniman selama berabad-abad dan menghukum siapa pun yang seninya tidak mempromosikan gagasan kebajikan mereka. Jadi, jika kita menginginkan kritik terhadap Plato, kita harus maju beberapa abad.

Kedua, seorang penulis puisi latin, Horace, di bawah perlindungan Kaisar Augutus, menulis seni puisi dan panduan tentang bagaimana puisi harus ditulis. Kita mungkin pernah akrab dengan ide Horace meski tidak sadar, misalnya, mengaplikasikan frasa “in medias res” ke dalam sebuah karya, yang secara harafiah adalah “di tengah perihal” (menurut Wikipedia, dalam terminologi kesastraan, ungkapan ini merujuk pada kisah atau penulisan cerita yang bermula langsung di tengah cerita, biasanya langsung ke bagian yang penting dari sebuah cerita). 

Untuk alasan itulah, mengapa kita membicarakan Horace di sini, karena baris-baris puisinya, yang dikenal sebagai kata-kata hampa pun, memiliki gagasan bahwa tujuan puisi adalah mendidik dan menyenangkan. Jadi, menurut Horace—kita kesampingkan dulu pemikiran Plato di atas—bahwa seni seharusnya tidak hanya mendidik secara moral saja, tetapi juga menyenangkan.

Motivasi Horace menarik. Dia bukan seorang filsuf yang peduli dengan melindungi peradaban seperti Plato, tetapi sebaliknya, pendekatannya jauh lebih pragmatis dari sudut pandang seniman. 

Horace mengatakan kepada pekerja seni jika mereka memiliki audiens yang lebih besar, ajarkanlah sesuatu yang menyenangkan sehingga anak-anak muda akan memilihnya—lakukan itu saja dan berhenti bertanya.

Gagasan Horace tersebut digaungkan 1500 tahun kemudian oleh penyair Inggris, Philip Sidney, dalam “Defence of Posey” (1595), yang merupakan versi argumen yang jauh lebih lengkap. 

Pembelaan tersebut secara eksplisit merupakan bantahan dari pemikiran Plato yang mengatakan bahwa penyair adalah pembohong, maka Sidney membantahnya dengan mengatakan bahwa penyair tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya dan karena itu dia tidak berbohong. Ini semacam argumen kecil yang menggeliat, tetapi pada dasarnya orang-orang tahu fiksi itu tidak nyata, jadi tenang saja. 

Kekhawatiran Plato bahwa cerita akan mempromosikan nilai-nilai yang salah dan orang-orang akan disesatkan olehnya, Sidney membalikkannya dengan menyatakan bahwa cerita lebih mudah diakses daripada filsafat kering sehingga masyarakat mungkin benar-benar bisa menjadikannya alat pendidikan yang lebih berguna, dan itu membawa mereka ke arah kebaikan.

Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa pemikiran Horace dan Sidney memiliki alternatif lain dari pengaruh seni, selain pemikiran Plato, tetapi hal tersebut masih merupakan posisi yang menjelaskan bukan tentang pengertian seni, melainkan tentang apa yang harus atau tidak boleh dilakukan oleh seniman. Ironisnya, pada abad ke-19 gagasan bahwa seni perlu mengajarkan sesuatu sama sekali ditinggalkan.

Ketiga, gerakan Asthetics. Gerakan itu memunculkan frasa “Art for art’s sake”(seni untuk seni) sebagai kunci mendapatkan popularitas di Inggris dan Prancis pada abad ke-19. Seperti yang tersirat dalam frasanya, gerakan Asthetics tersebut pada dasarnya hanya menyukai karya seni sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan saja dan bukan untuk konten moral atau untuk hal lainnya. Tentang siapa yang pertama kali mengungkapkan frasa terkenal itu, tidak ada kepastiannya. Namun, frasa tersebut sering dikreditkan ke penyair Prancis, Theophile Gautier (1835), dan sering disebut-sebut juga di dalam tulisan Edgar Allen Poe. 

Poe berargumen bahwa seni yang dibuat semata-mata untuk kepentingannya sendiri adalah jenis seni terbaik yang harus ada—dan itulah yang seharusnya dicita-citakan seniman ketika membuat sesuatu yang dimaksudkan sebagai bahan ajar. Jadi ungkapan slogannya adalah tidak hanya tentang bagaimana pekerja seni harus berkreasi, tetapi juga tentang bagaimana kritikus harus mengkritik.

Ungkapan itu tidak muncul begitu saja karena pada dasarnya itu adalah cara untuk membungkam kaum Marxis. Ide-ide Marx menjadi lebih populer dan mereka mulai menerapkannya pada seni, tetap mulai meresahkan beberapa orang yang lelah dengan bacaan yang dipolitisasi. 

Salah satu orang yang mengalami keresahan itu adalah Oscar Wilde, yang menulis bahwa "mereka yang menemukan makna buruk dalam keindahan adalah korupsi yang tiada menawan." Itulah cara paling elegan untuk mengatakan “tutup mulut” yang pernah ada.

Jadi, tiga posisi utama dari pertanyaan tentang tanggung jawab sosial pada seni, yaitu: Plato memberi tahu kita bahwa seni seharusnya ada hanya jika ia memupuk moral yang baik; Horace dan Sidney memberi tahu kita bahwa seni seharusnya mengajarkan dan menyenangkan;  gerakan Asthetics memberi tahu kita bahwa seni seharusnya ada untuk kepentingannya sendiri.

Kembali ke Joker, mungkin kita cenderung percaya bahwa banyak orang yang menonton film tersebut, lalu akan melihat gerakan Asthetics sebagai posisi yang paling masuk akal. Namun, coba kita lihat beberapa kekurangannya. Kritik utama adalah bahwa—bahkan jika kita mencoba untuk membuat sebuah karya seni semata-mata untuk kepentingannya sendiri—kita tidak dapat benar-benar mengontrol bagaimana karya itu akan dinikmati setelah kita menyelesaikannya—itulah Art for art’s sake, seni untuk seni, sebagai sebuah filsafat. Bagian baiknya dari Art for art’s sake adalah bahwa seni tidak mencoba untuk mengawasi seniman seperti dua teori lainnya. Bagian buruknya adalah bahwa hal itu sering kali merupakan upaya untuk mengawasi atau meminimalkan kritik.

Akan tetapi, seperti halnya para seniman yang harus memiliki kebebasan untuk mendapatkan nilai komersial, kritikus harus memiliki kebebasan untuk mengatakan apa yang mereka lihat. 

Seni pasti memiliki efek pada masyarakat. Ini sangat berpengaruh dalam membentuk keyakinan kita tentang dunia meskipun bukan hal sederhana tentang satu tokoh film melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan. 

Faktor lain yang berperan adalah tentu adanya elemen respons terhadap Joker yang mirip dengan kepanikan moral seputar kekerasan, atau death metal, dan respons terhadapnya harus sama. Jadi, jika itu benar, kita tidak berarti harus menyetujui dan mengatakan bahwa film merupakan seni untuk seni sehingga mengabaikan efek yang benar-benar dilakukan seni terhadap masyarakat.

Seni mungkin tidak memiliki tanggung jawab sosial, tetapi kritik memilikinya. Kritik adalah tentang menanyakan apa fungsinya? Ide apa yang disampaikannya? Ingat, tujuan kritikus melakukan itu bukan untuk menyensor seni seperti yang dilakukan Plato di “The Republic”, tetapi untuk menyadarkan media tentang caranya mempengaruhi masyarakat, termasuk kita. Kita adalah apa yang kita makan dan ada baiknya mengetahui kandungan gizi yang ada dalam makanan kita.*

-Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi serasan—

Sumber referensi: Seni dan keindahan berdasarkan pemikiran filsuf Yunani klasik: Plato, Socrates,  Horace, Sidney, dan Gagasan Asthetics.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun