Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Joker dan Moralitas Sebuah Film, Haruskah Ada?

14 Januari 2022   23:44 Diperbarui: 16 Januari 2022   05:30 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembelaan tersebut secara eksplisit merupakan bantahan dari pemikiran Plato yang mengatakan bahwa penyair adalah pembohong, maka Sidney membantahnya dengan mengatakan bahwa penyair tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya dan karena itu dia tidak berbohong. Ini semacam argumen kecil yang menggeliat, tetapi pada dasarnya orang-orang tahu fiksi itu tidak nyata, jadi tenang saja. 

Kekhawatiran Plato bahwa cerita akan mempromosikan nilai-nilai yang salah dan orang-orang akan disesatkan olehnya, Sidney membalikkannya dengan menyatakan bahwa cerita lebih mudah diakses daripada filsafat kering sehingga masyarakat mungkin benar-benar bisa menjadikannya alat pendidikan yang lebih berguna, dan itu membawa mereka ke arah kebaikan.

Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa pemikiran Horace dan Sidney memiliki alternatif lain dari pengaruh seni, selain pemikiran Plato, tetapi hal tersebut masih merupakan posisi yang menjelaskan bukan tentang pengertian seni, melainkan tentang apa yang harus atau tidak boleh dilakukan oleh seniman. Ironisnya, pada abad ke-19 gagasan bahwa seni perlu mengajarkan sesuatu sama sekali ditinggalkan.

Ketiga, gerakan Asthetics. Gerakan itu memunculkan frasa “Art for art’s sake”(seni untuk seni) sebagai kunci mendapatkan popularitas di Inggris dan Prancis pada abad ke-19. Seperti yang tersirat dalam frasanya, gerakan Asthetics tersebut pada dasarnya hanya menyukai karya seni sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan saja dan bukan untuk konten moral atau untuk hal lainnya. Tentang siapa yang pertama kali mengungkapkan frasa terkenal itu, tidak ada kepastiannya. Namun, frasa tersebut sering dikreditkan ke penyair Prancis, Theophile Gautier (1835), dan sering disebut-sebut juga di dalam tulisan Edgar Allen Poe. 

Poe berargumen bahwa seni yang dibuat semata-mata untuk kepentingannya sendiri adalah jenis seni terbaik yang harus ada—dan itulah yang seharusnya dicita-citakan seniman ketika membuat sesuatu yang dimaksudkan sebagai bahan ajar. Jadi ungkapan slogannya adalah tidak hanya tentang bagaimana pekerja seni harus berkreasi, tetapi juga tentang bagaimana kritikus harus mengkritik.

Ungkapan itu tidak muncul begitu saja karena pada dasarnya itu adalah cara untuk membungkam kaum Marxis. Ide-ide Marx menjadi lebih populer dan mereka mulai menerapkannya pada seni, tetap mulai meresahkan beberapa orang yang lelah dengan bacaan yang dipolitisasi. 

Salah satu orang yang mengalami keresahan itu adalah Oscar Wilde, yang menulis bahwa "mereka yang menemukan makna buruk dalam keindahan adalah korupsi yang tiada menawan." Itulah cara paling elegan untuk mengatakan “tutup mulut” yang pernah ada.

Jadi, tiga posisi utama dari pertanyaan tentang tanggung jawab sosial pada seni, yaitu: Plato memberi tahu kita bahwa seni seharusnya ada hanya jika ia memupuk moral yang baik; Horace dan Sidney memberi tahu kita bahwa seni seharusnya mengajarkan dan menyenangkan;  gerakan Asthetics memberi tahu kita bahwa seni seharusnya ada untuk kepentingannya sendiri.

Kembali ke Joker, mungkin kita cenderung percaya bahwa banyak orang yang menonton film tersebut, lalu akan melihat gerakan Asthetics sebagai posisi yang paling masuk akal. Namun, coba kita lihat beberapa kekurangannya. Kritik utama adalah bahwa—bahkan jika kita mencoba untuk membuat sebuah karya seni semata-mata untuk kepentingannya sendiri—kita tidak dapat benar-benar mengontrol bagaimana karya itu akan dinikmati setelah kita menyelesaikannya—itulah Art for art’s sake, seni untuk seni, sebagai sebuah filsafat. Bagian baiknya dari Art for art’s sake adalah bahwa seni tidak mencoba untuk mengawasi seniman seperti dua teori lainnya. Bagian buruknya adalah bahwa hal itu sering kali merupakan upaya untuk mengawasi atau meminimalkan kritik.

Akan tetapi, seperti halnya para seniman yang harus memiliki kebebasan untuk mendapatkan nilai komersial, kritikus harus memiliki kebebasan untuk mengatakan apa yang mereka lihat. 

Seni pasti memiliki efek pada masyarakat. Ini sangat berpengaruh dalam membentuk keyakinan kita tentang dunia meskipun bukan hal sederhana tentang satu tokoh film melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun