Pertama, Plato, filsuf Athena, dengan bukunya “The Republic” yang menyuguhkan dialog antara Plato dan gurunya, Socrates, yang mencoba membayangkan seperti apa republik yang sempurna itu, dia lantas menggambarkan bahwa republik yang sempurna itu mempunyai tempat untuk setiap jenis pekerja: Nelayan pergi ke sini; Para filsuf pergi ke sana; Penguasa harus melakukan ini dan itu. Namun, kemudian pemikirannya sampai ke penyair (penulis) dan pesannya kepada mereka: Kami tidak ingin kalian ada di sini. Menurut Plato, kehidupan pekerja seni di masyarakat akan selalu diasingkan. Argumennya adalah sebuah paraphrase "tolong pikirkan anak-anak!"
Plato berpendapat bahwa bercerita pada dasarnya berbohong—dan berbohong itu buruk. Jika orang-orang, terutama kaum muda, mendengarkan kebohongan maka mereka akan disesatkan dan itu akan merusak masyarakat.
Dalam kata-katanya, intinya bahwa seorang anak muda tidak dapat membedakan kapan sesuatu itu alegoris dan kapan tidak, dan ide apa pun yang diterima oleh orang dengan usia muda itu cenderung menjadi permanen atau hampir tidak dapat dihapus. Pemikiran tentang pengaruh seni ke anak-anak merupakan tawaran pertama Plato kepada pembuat seni dunia dengan cara mengatakan yang baik-baik saja.
Dia kemudian membuat daftar kebajikan yang menurutnya harus dikembangkan oleh para seniman: membuat orang berani, disiplin diri, dan lain-lain. Aktualisasinya bahwa orang baik diberi penghargaan dan orang jahat dihukum.
Jadi, seni menurut Plato memiliki tanggung jawab sosial—mendidik secara moral. Seni memerlukan penanaman nilai-nilai yang tepat dalam populasi. Apa pun yang tidak sesuai dengan tujuan spesifik itu tidak boleh dibiarkan ada.
Posisi Plato tersebut sangat ekstrem dan bahkan ada perdebatan bahwa apakah Plato sendiri yang mengartikan secara harafiah perihal pertanggungjawaban sosialnya itu, atau sebagai eksperimen pemikirannya saja. Namun demikian, posisi yang populer secara historis, Gereja Katolik, misalnya, mengawasi seniman selama berabad-abad dan menghukum siapa pun yang seninya tidak mempromosikan gagasan kebajikan mereka. Jadi, jika kita menginginkan kritik terhadap Plato, kita harus maju beberapa abad.
Kedua, seorang penulis puisi latin, Horace, di bawah perlindungan Kaisar Augutus, menulis seni puisi dan panduan tentang bagaimana puisi harus ditulis. Kita mungkin pernah akrab dengan ide Horace meski tidak sadar, misalnya, mengaplikasikan frasa “in medias res” ke dalam sebuah karya, yang secara harafiah adalah “di tengah perihal” (menurut Wikipedia, dalam terminologi kesastraan, ungkapan ini merujuk pada kisah atau penulisan cerita yang bermula langsung di tengah cerita, biasanya langsung ke bagian yang penting dari sebuah cerita).
Untuk alasan itulah, mengapa kita membicarakan Horace di sini, karena baris-baris puisinya, yang dikenal sebagai kata-kata hampa pun, memiliki gagasan bahwa tujuan puisi adalah mendidik dan menyenangkan. Jadi, menurut Horace—kita kesampingkan dulu pemikiran Plato di atas—bahwa seni seharusnya tidak hanya mendidik secara moral saja, tetapi juga menyenangkan.
Motivasi Horace menarik. Dia bukan seorang filsuf yang peduli dengan melindungi peradaban seperti Plato, tetapi sebaliknya, pendekatannya jauh lebih pragmatis dari sudut pandang seniman.
Horace mengatakan kepada pekerja seni jika mereka memiliki audiens yang lebih besar, ajarkanlah sesuatu yang menyenangkan sehingga anak-anak muda akan memilihnya—lakukan itu saja dan berhenti bertanya.
Gagasan Horace tersebut digaungkan 1500 tahun kemudian oleh penyair Inggris, Philip Sidney, dalam “Defence of Posey” (1595), yang merupakan versi argumen yang jauh lebih lengkap.