Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Literasi Cerdas di Balik Humor Sufi Nasruddin Hoja

17 Agustus 2021   21:42 Diperbarui: 19 Agustus 2021   06:47 3165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Nasruddin Joha|Sumber gambar: Istock

Barangkali sejauh ini, kisah-kisah sufisme selalu menarik untuk saya baca. Tentang Nasruddin Hoja, saya tidak akan membahas siapa beliau. Sudah banyak literatur yang mengupas biografi dan asal-usulnya. Saya hanya tertarik dengan kisah-kisahnya yang dikemas secara menggelitik, tetapi sarat akan makna sufistik, tidak semata lahiriah—dan biasanya ditambahkan sedikit sentilan yang memberi kesadaran dalam hal spiritualisme.

Kisah-kisah Nasruddin ini berhasil memikat saya di saat orang-orang mempeributkan perkara “showing”—perkara itu menjadi seolah-olah menjadi tidak penting setelah saya membaca kisah-kisah Nasruddin Hoja. Bagi saya humor-humor ala sufi, termasuk juga diantaranya kisah Abunawas dan Syekh Bahlul, seakan-akan menggugurkan keributan tersebut. 

Dee Lestari pun pada zoomwebinarnya, Sabtu, 14 Agustus 2021, mengulas bahwa indikator karya yang baik itu adalah yang memikat dan mengikat (baca: memikat untuk dibaca dan mengikat untuk terus membacanya). Itu artinya, humor sufisme pun bisa disejajarkan ke dalam indikator yang baik tersebut.  

Kisah-kisah Nasruddin dikenal di seluruh Timur Tengah dan menyentuh berbagai kultur di seluruh dunia. Terlepas dari apakah semua kisah itu hasil karyanya, atau bisa juga tidak semua tetapi dinisbatkan kepadanya, menurut saya kisah-kisah sang Mullah ini merupakan semacam literasi cerdas. Meskipun lebih banyak mengedepankan cara bernalar terbalik—bahasa halus dari kebodohan–kisah-kisah Nasrudin justru menggambarkan sisi lain kecerdasan berpikir. 

Bagaimana kening kita diajak berkerut untuk memahami makna di setiap kisah. Setelah mengerti, kita pun akan dibuatnya tersenyum-senyum sendiri. Dari kisah-kisah Nasruddin Hoja, justru yang kita dapatkan semacam mentertawakan kebodohan diri sendiri. Padahal, dari kebodohan itu yg terlihat adalah kebijaksanaan. Ini yang kadang tidak dimikili oleh orang-orang yang mengaku dirinya pintar.

Ada sesuatu yang unik di dalam kisah-kisah Nasruddin. Dia sering kali mengikutsertakan keledai kesayangannya, hewan yang diidentikkan dengan kebodohan walaupun belum ada penjelasan ilmiah mengapa keledai selalu dianggap hewan yang bodoh, sama halnya dengan kancil yang dianggap cerdas.

Coba simak dua kisahnya yang sangat populer dibawah ini:

1. MEMINJAM KELEDAI

Suatu hari Nasruddin kedatangan tetangga sebelah rumahnya yang bermaksud meminjam keledainya. Nasruddin kenal persis tabiat tetangga itu—bersikap tak sabaran dan berperilaku keras. Nasruddin pun tidak ingin meminjamkan keledainya karena takut keledainya itu disakiti.

Nasruddin menolak secara halus dan mengatakan bahwa keledainya sedang dipinjam orang lain dan belum dikembalikan. Namun, ketika langkah tetangga itu belum meninggalkan pekarangan rumah Nasruddin, terdengar suara keledai di belakang rumah.

“Kau bilang keledaimu dipinjam orang lain, tapi itu suara apa?”

“Kau lebih percaya pada suara keledai, atau pada orang tua yang sudah beruban ini.”

Tetangga itu pulang dengan perasaan dongkol.

Beberapa hari kemudian tetangga itu datang lagi dengan maksud yang sama, meminjam keledai. Nasruddin tak langsung menjawab, tetapi dia meminta waktu agar si Tetangga mau menunggu sejenak. Kemudian, Nasruddin masuk ke rumahnya.

Tidak berapa lama dia kembali menemui orang tadi, sambil berkata, “Aku telah menemui keledaiku dan menyampaikan hasratmu, tetapi ia menolak dengan mengatakan, “Aku sebenarnya ingin membantunya, hanya saja aku tidak suka dengan ucapan cacian dan kadang memukulku.”

“Sejak kapan keledai bisa bicara dan punya pikiran seperti layaknya manusia?” tanya tetangganya itu.

“Itu kenyataannya, Tuan. Begitu banyak keledai bisa bicara, bahkan bermusyawarah dan terkadang mengemukakan pendapat.”

2. CARA KELEDAI MEMBACA BUKU

Alkisah, Timur Lenk menghadiahi Nasruddin seekor keledai. Nasrudin pun menerimanya dengan senang hati. Namun, Timur Lenk memberi syarat: Nasrudin harus mengajari keledai itu membaca terlebih dahulu.

“Dua minggu dari sekarang, kau harus kembali ke sini. Kita lihat apa yang akan terjadi” kata Timur Lenk.

Nasrudin pun berlalu. Sambil menuntun keledai itu, dia memikirkan apa yang hendak diperbuatnya. Nasruddin paham jika dapat mengajari keledai itu membaca, tentu ia akan menerima hadiah, namun jika tidak, hukuman pasti akan ditimpakan kepadanya.

Dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar agar Nasrudin segera mempraktekkan apa yang telah ia lakukan. Nasrudin lalu menggiring keledainya menghadap ke arah buku tersebut, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu. Ajaib! Tidak lama kemudian si Keledai mulai membuka-buka buku itu dengan lidahnya terus menerus, lembar demi lembar hingga halaman terakhir. Setelah itu, si Keledai menatap Nasruddin seolah berkata ia telah membaca seluruh isi bukunya.

“Demikianlah,” kata Nasruddin, “keledaiku sudah membaca semua lembar bukunya.”

Timur Lenk merasa ada yang tidak beres dan mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca?”

Nasruddin berkisah, ”Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji itu, kalu tidak ditemukan biji gandumnya ia harus membalik halaman berikutnya. Dan itu ia lakukan terus sampai ia terlatih membalik-balik halaman buku itu.”

“Tapi, bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?” tukas Timur Lenk.


“Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya,” kata Nasruddin dengan mimik serius.

---

-Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan -

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun