Dering ponsel di kantong ransel mengagetkanku. Aku mengambilnya dan melangkah menjauh dari Andra, takut-takut jika yang menelepon adalah Andien. Betul saja, setelah kulihat, nama wanita itu tertera di layar. Sekilas, aku melihat Andra yang lebih tertarik memperhatikan empat orang bermain ganda di lapangan tenis.
“Oke, Ndien.”
Aku bersyukur Andra tidak menaruh curiga kepadaku. Kukatakan kepadanya aku tidak bisa melanjutkan permainan. Andra tidak mempermasalahkan pamitku yang tiba-tiba. Dia pun sepertinya tidak tertarik mengetahui alasanku. Setelah berganti pakaian, aku segera meluncurkan motorku ke seberang, tepatnya ke parkiran kafetaria. Aku masuk dan menuju meja di pojok kafe, serta memilih menu makanan sambil menunggu Andien datang.
“Hai, No. Maaf, ya lama.” Aku menyambut Andien dengan cipika-cipiki seperti biasa. Kami duduk berhadapan. Entah mengapa, kali ini aku merasa canggung sekali. Detak jantungku menjadi tak berirama melihat kecantikan perempuan hadapanku. Bagaimana bisa Andra mengabaikan perempuan ini? Batinku.
“Bayangkan, No. Untuk hari libur saja, dia seperti tidak punya waktu mengajakku jalan-jalan,“ ucapnya.
“Pekerjaan kantor sedang banyak-banyaknya, Ndien. Mungkin dia sibuk.”
“Selalu saja itu alasannya. “ Andien mendengkus. Aku tahu hatinya pasti kesal.
Selanjutnya, Andien lebih banyak bercerita tentang perasaannya. Bagaimana kejenuhannya menjalani hubungan bersama Andra—hubungan yang tidak pernah jelas akan dibawa ke arah mana. Aku mendengarkan sambil menelan potongan terakhir burger yang telah selesai kukunyah. Tiba-tiba tangannya terjulur ke wajahku, mengelap sudut bibirku dengan tisu yang tersedia di meja.
“Maaf. Saus tomatnya menempel,” katanya.
Aku secara sadar kemudian memegang pergelangan tangannnya. Pandangan kami saling beradu. Kulihat Andien terperangah. Di saat itulah, aku memberanikan diri mengatakan sesuatu kepadanya.
“Aku meyukaimu, Ndien,” ucapku dengan perasaan penuh debar.