Hampir saja ponselku jatuh ketika pundakku tiba-tiba ditepuk oleh seseorang.
“Udah lama, No?”
Aku mengelus-elus dada. Perasaan kaget dan salah tingkah beraduk jadi satu. Andra ternyata datang lebih awal dari perjanjian. Dia memandangku sambil tertawa. “Lu kayak ngeliat setan aja,” selorohnya.
Setelah satu jam lebih kami saling memukul bola di lapangan, aku dan Andra beristirahat sejenak di pinggiran lapangan. Sementara lapangan sudah diambil alih oleh beberapa orang yang ingin bermain.
“Aku selalu saja salah di matanya, No. Dia bilang, aku kurang perhatian, kurang inilah, kurang itulah. Apa-apalah. Tingkahnya jadi kekanak-kanakan sekarang.”
Aku yang duduk berselonjor kaki di samping Andra hanya mengangguk-angguk saja mendengar keluhannya. Aku tahu Andra pernah mengatakan jika pekerjaan di kantor memang lagi sibuk-sibuknya. Mungkin itulah yang membuat Andra menjadi kurang perhatian ke Andien.
“Terus, selanjutnya, bagaimana? " tanyaku sekadar memastikan keinginan Andra terhadap hubungannya bersama kekasihnya itu.
“Ya, nggak gimana-gimana. Hubungan kami begini-begini aja. Nanti juga baik sendiri.”
“Emang selalu begitu, ya?”
“Andien akan minta maaf. Dia mengakui terlalu mengekang aktivitasku.”
Aku menghela napas panjang. Rasanya, aku tidak ingin menasehati Andra lebih lanjut. Percuma saja menurutku. Jangankan terhadap Andien, terhadap aku yang sahabatnya sejak kuliah pun, dia masih egois. Mungkin karena sudah hapal sifatnya, aku lebih banyak mengatasinya dengan cara mengalah. Meskipun begitu, aku mengakui Andra termasuk orang yang baik dan setia. Selama bersama Andien pun, belum pernah kudengar dia berselingkuh. Padahal, bisa jadi peluang itu ada mengingat Andra dan Andien yang kutahu pun jarang bertemu dan sering bertengkar.