Perihal baliho-baliho yang tersebar di jalanan dan di sudut-sudut krusial beberapa kota, saya mungkin termasuk yang tidak memperhatikannya secara langsung.Â
Selain konsentrasi saya disibukkan dengan urusan mengajar sekolah daring, saya pun tidak sempat pergi kemana-mana yang memang tidak diperbolehkan juga di saat PPKM seperti ini.Â
Jadi, penglihatan saya seakan-akan terselamatkan dari baliho-baliho para politisi yang akhir-akhir ini menjadi polemik di masyarakat. Namun, melihat informasi yang tersebar di pelbagai media pemberitaan, pemasangan baliho-baliho ini sedikit banyak menggelitik saya untuk sekadarnya memberikan opini.
Menurut saya, pemasangan baliho-baliho raksasa itu sudah memasuki fase tren--dan fase ini diprediksi akan panjang hingga menjelang perkancahan politik 2024.Â
Akan tetapi, pemasangan baliho-baliho di pelbagai tempat dan di beberapa kota jelas menimbulkan reaksi-reaksi khalayak umum. Reaksi yang terjadi pun beraneka macam; ada yang tidak peduli, ada yang mendukung, dan ada juga yang marah dan kecewa--saya termasuk yang gemas-gemas geram.
Kalau boleh jujur, di samping kegeraman yang menyelimuti perasaan, saya menangkap adanya satu kesamaan rasa antara saya, sebagai pengajar, dengan para politisi bersenyum manis yang terpampang di kain-kain baliho: sama-sama cemas.Â
Bedanya, saya cemas terhadap arah pendidikan di masa pandemi, dan mereka--mungkin--cemas terhadap ketidakpopuleran atau menurunnya popularitas di masa pandemi. Nah, mengenai kecemasan akan ketidakpopuleran atau penurunan elektabilitas menjelang 2024, sedemikian ketar-ketirnyakah perasaan para politisi tersebut?
Tidak bisa dipungkiri, di masa sekarang ini seakan-akan masyarakatlah yang harus memaklumi tingkah pola para politisi tersebut.
Para politisi membutuhkan wadah yang tepat untuk mendongkrak popularitas yang memang saat ini seperti sudah tidak dipedulikan lagi oleh masyarakat luas. Salah satunya adalah melalui pemasangan baliho.Â
Meskipun jargon yang tertulis mungkin terkesan absurd sehingga tidak dapat sepenuhnya dipahami oleh masyarakat, mereka setidaknya bisa lebih puas jika wajah-wajah tersenyum itulah yang menjadi daya pikat di kancah pemilihan politisi selanjutnya.Â
Mereka masih optimis, wajah-wajah manis terpampang itu akan mudah diingat dan kelak mampu menghipnotis masyarakat untuk selanjutnya melupakan kinerja buruk yang sudah terlanjur dilakukan mereka, sampai akhirnya masyarakat pun memilih mereka di periode 2024.
Lantas, apakah ada yang salah dengan pemasangan baliho tersebut?
Secara peraturan mungkin tidak ada yang salah. Hanya saja, pemasangan baliho tersebut dianggap sebagian pihak tidak beretika di tengah kesulitan masyarakat di masa pandemi sekarang ini.Â
Di saat masyarakaat sedang kesusahan memikirkan pendapatan yang harus dicari untuk mengepulkan asap dapur, ada pihak yang secara sadar menghambur-hamburkan uang untuk sekadar tersenyum manis dan menarik simpati.Â
Bisa jadi, para politisi menganggap pemasangan baliho itu tidak pernah mengganggu jalur perekonomian masyarakat dan tidak ada kaitannya dengan kesengsaraan rakyat sama sekali.Â
Toh, pemasangan tersebut didalih-dalih tidak memakai anggaran negara juga. Jadi, menurut pihak yang mendukung pemasangan baliho tersebut, jelas tidak ada aturan etika yang dilanggar.
Barangkali, dipikiran para politisi, pencurian start untuk mendongkrak popularitas di ajang pertaruhan untuk 2024 tersebut adalah sah-sah saja.Â
Sekali pun ada pihak yang terganggu, aksi protes turun ke jalan pun jelas tidak dengan mudah bisa dilakukan.Â
Sanki peraturaan PPKM dan aturan berkerumun di masa pandemi ini akan menjegal pelbagai aksi protes seandainya masih ada kelompok yang "usil" melakukannya di jalanan. Apakah hal ini menjadi strategi para politisi tersebut, who knows?
Harapan saya hanya satu terkait pemasangan baliho-baliho yang terkesan mengganggu pemandangan di ruang terbuka: Para politisi seharusnya mampu mengasah kepekaannya agar bisa lebih bijaksana menangkap semua polemik yang justru diciptakan oleh diri mereka sendiri.
---
- Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H