Jelang tutup tahun 2024 ini, saya dikirimi buku menarik berjudul "Mencari Rasulullah" karya Teh Irma Irawati, penulis yang sudah malang-melintang dalam genre cerita anak, fiksi dan nonfiksi Islami.
Dari sekian banyak karyanya yang best seller, buku "Mencari Rasulullah" ini sangat kontemplatif dan terasa begitu personal. Caranya menarasikan rindu pada sang Nabiyullah, membuat bulu roma saya tak sanggup merebah lagi sepanjang suguhan diksi yang mendayu.
Dengan narasi yang sastrawi, ungkapan rindu yang personal itu mampu teramplifikasi ke dalam relung hati saya. Seakan saya dan penulis adalah orang yang sama, yang menuangkan isi hati tentang rindu pada Sang Lelaki Penggenggam Hujan itu.
Membaca buku ini, sama sekali tidak seperti mendaras karya orang lain melainkan sedang menyelami perasaan sendiri yang tertuang dalam diary. Sudut pandang "aku" yang kuat dari penulis, akan membetot pembaca tenggelam dalam perasaan rindu yang sama kepada Nabi Muhammad SAW.
Mungkin, sebagian besar kita akan bilang bahwa Miss Logo adalah bukti absah bahwa banyak orang Amerika memang Islamophobia. Tapi, sepanjang pengalaman studi saya di Amerika Serikat dari Tahun 2021-2024, anggapan itu tidak saya temui. Sebaliknya, saya banyak melihat ekspresi keislaman di ruang-ruang publik Amerika.
Saya melihat supir-supir bus yang sujud dalam Dhuha-nya ketika jeda waktu menunggu penumpang masuk, menyaksikan sekeluarga muslim berjamaah di tengah taman ketika Magrib bertandang, sebagian menunaikan sholat di trotoar-trotoar New York City, dan terbiasa melihat beberapa muslim di Negeri Paman Sam itu tak ragu menggelar sajadah pada ruang-ruang kosong di sudut Mall, bahkan Gedung Putih pun sudah punya acara Bukber Tahunan setiap kali Ramadan di Amerika Serikat.
Lanjut ke bagian berikutnya, Teh Irma banyak menyuguhkan kisah-kisah bertabur inspirasi keimanan, dua di antaranya yang paling saya sukai adalah keteguhan iman Qatadah bin Nukman dan kisah terhentinya kumandang adzan Bilal Bin Rabbah lantaran tak kuasa menahan rindu kepada Sang Idolanya, Muhammad SAW. Pada bagian ini, hati saya terenyuh, sekaligus terpukul karena merasa masih jauh dari kata seorang perindu Rasulullah SAW.
Saya juga teringat pengalaman sewaktu Umrah bersama anak-istri, dimana kami menziarahi sejarah Nabi Muhammad SAW di Kota Mekah dan Madinah. Rasanya, memang wajar setiap muslim saat itu begitu mencintai Rasulullah sebab di tengah gurun tandus yang dikelilingi bukit-bukit batu itu, Rasulullah memancarkan cinta damai dalam segala hal.
Bagian yang paling menarik dari buku ini, ada pada Bab "Aku Mencarimu". Dari 10 subjudul "Mencarimu", tujuh di antaranya telah saya upayakan sejak berada di Pesantren Darussalam Ciamis (tempat saya dan Teh Irma menimba ilmu). Saya melakukan apa yang Teh Irma tulis dalam buku ini; mulai dari mencari Sang Nabi di setiap sudut rumah, di ruang-ruang belajar, di lembar-lembar sejarah, di hamparan sajadah dan sujud malam, di bait-bait puisi semisal Qasidah al-Burdah, di keramaian kota besar, hingga ke pelataran Raudhah.
Akhir kalam, resensi buku ini belum sepenuhnya menyajikan inti dan hikmah buku ini. Jadi, alangkah baiknya setiap kita dapat mendaras seisi buku ini sendiri supaya lebih terasa aliran getaran rindu akan Sang Nabi dari setiap diksi indah yang disuguhkan penulis.
Salam,
Shulhan Rumaru
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI