Di tengah kegaduhan politik pasca-pencoblosan Pemilu serentak kemarin, kini mulai kencang berhembus kabar evaluasi kinerja di tubuh kabinet kerja Jokowi, yang juga digadang-gadang bakal menjadi langkah awal kabinet Indonesia Maju di masa akan datang.Â
Meskipun sebelumnya eskalasi isu reshuffle Kabinet Kerja sudah berjilid-jilid, namun rasanya Jokowi tak bosan untuk terus meracik kabinet terbaiknya.
Muncul pula interpretasi kritis sejumlah pihak yang mengendus adanya dampak politik akomodatif ala Jokowi yang mau tak mau harus menyediakan kursi bagi koalisi barunya. Di sisi lain, perombakan formasi ini dianggap niscaya bagi Jokowi karena beliau ingin mempertimbangkan pendatang baru dalam kabinetnya, terutama kaum milenial.
Tak peduli plus-minusnya nanti, sebenarnya secara substansial, langkah evaluasi kinerja ini sangat penting dilakukan Jokowi lantaran performa beberapa kementrian sudah mulai melempem, di antaranya kinerja menteri perhubungan yang dianggap publik tak lagi bertaji untuk mengendalikan perusahan maskapai yang melambungkan harga tiket.
Kalau reformulasi ini dilakukan, barangkali tujuan Jokowi adalah untuk mendapatkan gambaran seputar akuntabilitas penggunaan anggaran (result oriented goverment). Poole, Seibold dan McPhee dalam bukunya A Structurational Approach to Theory Building in Group Decision Making Research (1986), memandang perlu adanya refleksivitas dalam setiap upaya membangun perbaikan birokrasi.
"Bukan untuk membagi kue kemenangan, namun memperkuat efek besar di parlemen nanti jika dinyatakan menang dalam pilpres 2019 ini."
Refleksivitas merujuk pada kemampuan memonitor tindakan-tindakan dan perilaku di birokrasi. Ada dua kesadaran yang harus digalakan, yakni kesadaran berwacana dan kesadaran praktis. Konsep, ide, gagasan dan perencanaan saja tak cukup, harus diimplementasikan dalam sejumlah program nyata yang secara objektif bisa dirasakan kemanfaatannya (Heryanto; 136).
Selain itu, merombak kabinet juga menjadi kebutuhan akan sirkulasi elit yang kurang produktif bekerja. Dalam perspektif Vilpredo ParetoThe Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986:95-103), proses sirkulasi elite itu digambarkan sebagai hubungan resiprokal dan bersifat mutual interdependence (ketergantungan bersama). Perubahan bukan berada dalam respon institusional yang dramatis, tetapi dalam tindakan dan reaksi sistem yang menunjukkan proses pengelolaan keteraturan.Â
Paling tidak, Jokowi sudah mulai berbenah sebelum kesempatan periode kedua jatuh ke tangannya nanti.Â