Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Membedah Pencegahan Terorisme dan Radikalisme ala KH Ma'ruf Amin

20 Januari 2019   21:25 Diperbarui: 21 Januari 2019   09:20 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai debat perdana Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Kamis (17/01/2019) kemarin, ternyata ruang-ruang diskusi publik seperti media sosial kebanjiran tanggapan. Debat yang membahas 4 topik besar yaitu Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme ini, patut diacungi jempol karena berjalan lancar, meskipun debat itu sendiri dinilai antiklimaks.

Namun dalam tulisan kali ini, saya tertarik membahas tema terorisme dalam pembahasan debat kemarin karena tema ini memang sangat krusial, mengingat belakangan sering terjadi aksi terorisme di Indonesia.

Laporan polisi, setidaknya sepanjang 2015 hingga Juni 2017, total ada 336 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus terorisme. Kurun waktu 2017 lalu, terjadi beberapa tindakan terorisme, di antaranya ada Bom Cicendo Bandung, Bom Kampung Melayu Jakarta, Penyerangan Polda Sumut, Penusukan Polisi di Masjid Falatehan Jakarta dll.

Kasus terorisme dan radikalisme yang paling menggemparkan tahun 2018 adalah Bom di 3 Gereja di Surabaya yang pelakunya melibatkan satu keluarga yang diduga anggota JAD; kedua orangtua dan anak-anak mereka yang secara usia masih belum genap menjadi remaja.

Ada juga Teror Mako Brimob Depok, Jawa Barat, Bom di Polrestabes Surabaya, Serangan teroris di Mapolda Riau, dan Bom di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo.  Tak hanya itu, beberapa mantan simpatisan ISIS yang berhasil kabur dan dideportasi ke Indonesia, di antaranya adalah anak-anak muda dan perempuan yang terpapar paham radikalisme. Tentu saja sejumlah kasus di atas, begitu meresahkan bangsa kita tercinta, sehingga kita perlu mencari jalan keluar terbaik.

Nah, dalam debat kemarin itu, saya menyimak jawaban Kyai Ma'ruf sangat bagus dan menarik ditelaah lebih jauh. Dalam kesempatan debat tersebut, Ma'ruf mengatakan bahwa "ke depan kami lebih utamakan pencegahan melalui kontra radikalisme untuk menghilangkan atau menekan paham-paham radikal dan intoleran dan melalui deradikalisasi untuk mengembalikan mereka yang sudah terpapar".

gambar milik ngopi.id
gambar milik ngopi.id
Lanjut Kyai Ma'ruf, "Untuk itu, dalam menanggulangi terorisme di masa yang akan datang, kami akan mengajak ormas-ormas khususnya organisasi keagamaan."

Poin dari jawaban Kyai Ma'ruf adalah memadukan pencegahan dan penindakan. Namun dalam tulisan ini, saya hanya ingin membahas perihal pencegahannya saja. Jelas sekali bahwa pencegahan amat diperlukan agar tidak bertumbuhnya tunas-tunas teroris baru di Indonesia, juga menangkal sebaran paham-paham radikalisme yang kini semakin canggih melakukan transformasi idelogi lewat media massa dan media sosial.

Meminjam data survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, menunjukkan bahwa siswa/mahasiswa yang mencari sumber pengetahuan agama melalui internet dan media sosial sekitar 50,89 persen. Yang mencari sumber pengetahuan agama melalui buku sekitar 48,57 persen dan melalui televisi sekitar 33,73 persen (PPIM, 2017). Dari survei itu, kita bisa melihat bahwa media baru menjadi kanal utama bagi penyebaran pesan agama yang memudahkan mereka memahami persoalan keagamaan.

Data di atas menunjukkan pola pencarian informasi keagamaan yang dilakukan para remaja Indonesia cenderung melalui internet. Terlebih, dengan kuota internet yang berlimpah dan teknologi komunikasi yang kian berkembang, remaja Indonesia kini mulai instan dalam mempelajari agamanya lewat mesin pencarian google dan media sosial. Hal ini tentu berbahaya sebab mereka akan mudah terpapar paham radikalisme karena hanya memahami bacaan tanpa guru, juga tanpa pembacaan yang mendalam.

Berdasarkan penelitian pengamat teroris dari Universitas Indonesia, Solahudin, bahwa ISIS memiliki lebih dari 60 channel media sosial telegram yang memasok sekitar 80-180 pesan radikalisme dalam sehari. Bayangkan, akan sangat berbahaya bila pesan-pesan radikalisme ini diikuti oleh muda-mudi Indonesia. Oleh karena itu, langkah pemboikotan instagram yang pernah dilakukan pemerintah, sudah dianggap tepat, meskipun harus diimbangi dengan literasi keagamaan yang juga masif di media sosial.

Menurut O'Leary, internet telah menjadi ruang revolusi untuk meningkatkan paham keagamaan dan proses desiminasi yang saat ini mengalahkan buku cetak (O'Leary, 1996). Sebab itu, perlu digiatkan literasi lewat media sosial maupun situs-situs kegamaan yang moderat di internet sebagai langkah perlawanan terhadap sebaran paham radikalisme yang sengaja disusupkan para teroris lewat internet.

Yang perlu kita takutkan saat ini adalah transformasi ideologi radikalisme lewat media dan media sosial, sebab sebarannya dapat serentak dan menghantam pola pikir remaja dan penduduk Indonesia pada umumnya. Pengamat isu-isu radikalisme Dirga Maulana, menuliskan bahwa internet membekali para ekstremis dengan informasi dan memberikan informasi untuk gerakan ideologis mereka.

Lewat internet, para teroris bisa masuk ke mana saja dengan menggunakan Youtube, Facebook, Twitter, dan lain-lain untuk mengajak anak-anak muda melakukan tindak kekerasan dengan dalih agama. Tentu saja, hal ini searah dengan apa yang dikatakan Eric Schmidt dan Jared Cohen dalam bukunya, The New Digital Age (2013), bahwa menggambarkan masa depan gerakan terorisme dengan menggunakan teknologi informasi sebagai sebuah serangan teror.

Untuk itu, pemerintah dan seluruh stakeholders dalam persoalan ini, harus berani memanfaatkan internet dan media sosial untuk melakukan langkah pencegahan. Lagi pula, psikologi pengguna media sosial di Indonesia pun masih bisa diarahkan dengan isu-isu sosial yang memiliki muatan keagamaan. Saya yakin, warganet Indonesia akan pro toleransi dan kontra radikalisme jika kampanye pencegahannya dilakukan seapik mungkin.

Di Indonesia sudah banyak contoh toleransi yang saya sebut tren toleransi 3.0, di mana kasus-kasus sosial keagamaan yang mencuat menjadi perhatian khusus warga internet (netizen). Tak jarang, beberapa kasus ditangani oleh netizen. Sebut saja kasus razia warung makan di Serang, Banten, dan pembakaran musholla di Tolikara, Papua, pada Ramadhan 2016 lalu.

Respons dan aksi kolektif netizen meluber di sosial media, bahkan sebagian menjadi rujukan media mainstream. Hasilnya, lewat gerakan donasi netizen, Ibu Saeni yang warungnya dirazia itu langsung mendapat sumbangan ratusan juta rupiah lewat penggalangan dana yang diinisiasi Dwika Putra di kitabisa.com. Malahan, beberapa warung di area razia itu turut mendapat sumbangan.

Selain melalui sarana media, pencegahan memang perlu dilakukan melalui kanal ormas-ormas keagamaan dan mimbar-mimbar rumah ibadah. Mengapa begitu, sebab dalam laporan Badan Intelijen Negara (BIN), terdapat 41 dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga dan BUMN yang terpapar radikalisme.

"Itu (masjid terpapar radikalisme) yang harus dibersihkan, dikembalikan karena radikalisme itu sesuatu yang sangat membahayakan keutuhan bangsa dan kelangsungan NKRI," kata Ma'ruf Amin di Pesantren An Nawawi Tanara, Kabupaten Serang, Banten, Minggu (18/11/2018).

Kita harus secepatnya menyadari bahwa mimbar-mimbar rumah ibadah memang rentan dijadikan panggung penyebaran narasi-narasi radikalisme. Kalau masjid, gereja, wihara dan rumah ibadah lainnya sudah banyak disusupi khutbah kebencian, maka radikalisme akan subur bertunas.

Untuk itu, peran ormas-ormas keagamaan memang sangat penting dalam upaya deradikalisasi. Tentu saja ormas-ormas yang menunjukkan wajah teduh sebuah agama, bukan ormas yang meneriakkan kalimat-kalimat kudus namun berperilaku bar-bar.

Kegiatan keagamaan yang menghadang radikalisme haruslah nirkekerasan dan mencerminkan wajah cinta kasih dalam beragama seperti yang disampaikan Santha-Anand bahwa perubahan sosial bisa dicapai lewat kegiatan nirkekerasan.

Ormas kegamaan yang paling layak mengampu tugas ini adalah Nahdlatul Ulama dan Muhammdiyah karena rekam jejak kedua ormas Islam terbesar di Indonesia ini sudah teruji dalam menjaga keutuhan NKRI. Kedua ormas ini boleh dikatakan sebagai garda terdepan dalam melakukan modernisasi pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang disenyawakan dalam setiap jalan dakwah kedua ormas ini.

Sudah banyak sekolah dan kampus yang dibangun NU dan Muhammadiyah, di mana pendidikan keislaman dan kebangsakan dipasok dengan baik kepada para pelajar. Kita doakan saja semoga NU dan Muhammadiyah tetap solid dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia dari rongrongan radikalisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun