Usai debat perdana Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Kamis (17/01/2019) kemarin, ternyata ruang-ruang diskusi publik seperti media sosial kebanjiran tanggapan. Debat yang membahas 4 topik besar yaitu Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme ini, patut diacungi jempol karena berjalan lancar, meskipun debat itu sendiri dinilai antiklimaks.
Namun dalam tulisan kali ini, saya tertarik membahas tema terorisme dalam pembahasan debat kemarin karena tema ini memang sangat krusial, mengingat belakangan sering terjadi aksi terorisme di Indonesia.
Laporan polisi, setidaknya sepanjang 2015 hingga Juni 2017, total ada 336 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus terorisme. Kurun waktu 2017 lalu, terjadi beberapa tindakan terorisme, di antaranya ada Bom Cicendo Bandung, Bom Kampung Melayu Jakarta, Penyerangan Polda Sumut, Penusukan Polisi di Masjid Falatehan Jakarta dll.
Kasus terorisme dan radikalisme yang paling menggemparkan tahun 2018 adalah Bom di 3 Gereja di Surabaya yang pelakunya melibatkan satu keluarga yang diduga anggota JAD; kedua orangtua dan anak-anak mereka yang secara usia masih belum genap menjadi remaja.
Ada juga Teror Mako Brimob Depok, Jawa Barat, Bom di Polrestabes Surabaya, Serangan teroris di Mapolda Riau, dan Bom di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo. Â Tak hanya itu, beberapa mantan simpatisan ISIS yang berhasil kabur dan dideportasi ke Indonesia, di antaranya adalah anak-anak muda dan perempuan yang terpapar paham radikalisme. Tentu saja sejumlah kasus di atas, begitu meresahkan bangsa kita tercinta, sehingga kita perlu mencari jalan keluar terbaik.
Nah, dalam debat kemarin itu, saya menyimak jawaban Kyai Ma'ruf sangat bagus dan menarik ditelaah lebih jauh. Dalam kesempatan debat tersebut, Ma'ruf mengatakan bahwa "ke depan kami lebih utamakan pencegahan melalui kontra radikalisme untuk menghilangkan atau menekan paham-paham radikal dan intoleran dan melalui deradikalisasi untuk mengembalikan mereka yang sudah terpapar".
Poin dari jawaban Kyai Ma'ruf adalah memadukan pencegahan dan penindakan. Namun dalam tulisan ini, saya hanya ingin membahas perihal pencegahannya saja. Jelas sekali bahwa pencegahan amat diperlukan agar tidak bertumbuhnya tunas-tunas teroris baru di Indonesia, juga menangkal sebaran paham-paham radikalisme yang kini semakin canggih melakukan transformasi idelogi lewat media massa dan media sosial.
Meminjam data survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, menunjukkan bahwa siswa/mahasiswa yang mencari sumber pengetahuan agama melalui internet dan media sosial sekitar 50,89 persen. Yang mencari sumber pengetahuan agama melalui buku sekitar 48,57 persen dan melalui televisi sekitar 33,73 persen (PPIM, 2017). Dari survei itu, kita bisa melihat bahwa media baru menjadi kanal utama bagi penyebaran pesan agama yang memudahkan mereka memahami persoalan keagamaan.
Data di atas menunjukkan pola pencarian informasi keagamaan yang dilakukan para remaja Indonesia cenderung melalui internet. Terlebih, dengan kuota internet yang berlimpah dan teknologi komunikasi yang kian berkembang, remaja Indonesia kini mulai instan dalam mempelajari agamanya lewat mesin pencarian google dan media sosial. Hal ini tentu berbahaya sebab mereka akan mudah terpapar paham radikalisme karena hanya memahami bacaan tanpa guru, juga tanpa pembacaan yang mendalam.
Berdasarkan penelitian pengamat teroris dari Universitas Indonesia, Solahudin, bahwa ISIS memiliki lebih dari 60 channel media sosial telegram yang memasok sekitar 80-180 pesan radikalisme dalam sehari. Bayangkan, akan sangat berbahaya bila pesan-pesan radikalisme ini diikuti oleh muda-mudi Indonesia. Oleh karena itu, langkah pemboikotan instagram yang pernah dilakukan pemerintah, sudah dianggap tepat, meskipun harus diimbangi dengan literasi keagamaan yang juga masif di media sosial.
Menurut O'Leary, internet telah menjadi ruang revolusi untuk meningkatkan paham keagamaan dan proses desiminasi yang saat ini mengalahkan buku cetak (O'Leary, 1996). Sebab itu, perlu digiatkan literasi lewat media sosial maupun situs-situs kegamaan yang moderat di internet sebagai langkah perlawanan terhadap sebaran paham radikalisme yang sengaja disusupkan para teroris lewat internet.